Judul Buku: Loneliness is My Best Friend
Penulis: Alvi Syahrin
Penerbit: Alvi Ardhi Publishing
Tahun Terbit: 2022
Halaman: 306
Penulis Resensi: Miyosi Margi Utami
“Kalau
teman selalu datang dan pergi, lantas apa gunanya pertemanan? Mungkin, poin
utama pertemanan bukanlah tentang mencari siapa yang menjadi sahabat sampai
nanti. Mungkin, poin utama pertemanan adalah sesederhana meninggalkan bekas
kebaikan di dalam hidup seseorang. Sehingga ketika hidup seseorang terasa berat,
lalu ia mengilas balik, ia selalu ingat ia pernah dipedulikan oleh orang
sepertimu meski sekarang sudah tidak akrab lagi. They were once loved. You were
once loved.” - halaman 115
Kesendirian tak harus identik dengan
kesepian yang mengundang kasihan. Melalui buku ini, Alvi Syahrin memberikan
sudut pandang yang berbeda. Sejatinya, semua manusia “bersahabat” atau sudah
biasa dengan istilah tersebut. Bukankah kita lahir sendiri mati pun sendiri?
Namun pada kenyataannya, kesendirian seolah menjadi kutukan, sesuatu yang
ditakuti.
Setidaknya, di tanah air memang demikian, bukan? Masyarakat kerap melihat orang yang ke mana-mana sendiri dengan pandangan kasihan. Padahal, boleh jadi yang menjalaninya baik-baik saja. Kesendirian juga kadang dicap negatif: tak bisa bergaul, misalnya. Sehingga, orang-orang seolah ter-framing untuk melakukan hal ini: ingin selalu terlihat berkelompok meskipun fake (baik di depan, ngomongin di belakang) karena hal tersebut masih lebih menyenangkan (meskipun sebenarnya tidak nyaman karena rentan penuh drama) ketimbang selalu terlihat sendiri (karena dianggap tidak normal). Sesuatu yang sangat kontras dengan Negeri Sakura. At least, berdasarkan pengalaman pribadi selama tinggal di sana.
Jika ada yang menyangka kalau buku
setebal 306 halaman yang terdiri dari 45 bab ini berisi tentang keluhan, maka
ia salah besar. Di bab-bab awal hingga pertengahan, penulis menjelaskan bahwa
sejatinya semua orang pernah merasa SENDIRIAN seterbuka apa pun karakternya dan
sebanyak apa pun temannya. Tak jarang, apa yang diterima tak sesuai dengan yang
diberikan. Sering, kita merasa menyayangi sendirian, terlebih ketika orang yang
kita sayang (entah keluarga, pasangan, teman, ataupun sahabat) tidak memberikan
feed back yang sama. Kita juga kerap
merasa “dikhianati” kala mereka membuat grup sendiri di belakang tanpa ada
kita. Ragam “penolakan” secara tidak langsung yang sering terjadi tersebut tak
jarang membuat kita merasa tak berarti. “Mereka kok mudah banget ya menjalin
hubungan, sementara aku kok serasa sebatang kara di dunia, padahal aku sudah
melakukan yang terbaik, mereka kok gak bisa sehangat itu ke aku, apa aku ini
dianggap ada” seperti itulah luka yang terpendam akibat pengabaian jika
divisualisasikan.
Menuju bab terakhir, penulis mengajak
pembaca untuk menerima kenyataan dengan menganggap kesendirian bukan sebagai
lawan melainkan teman.
Aku
bukan korban kesepian. Aku adalah pahlawan yang akan menakhlukkan kesepian. (Halaman
248)
Ada banyak cara yang bisa dilakukan
manusia untuk menghalau rasa sepi sebagaimana ditulis oleh Alvi dalam bukunya.
Memperbaiki mindset bahwa kesendirian
adalah hal yang wajar dan melakukan hal-hal nyata yang bermanfaat (jangan hanya
scrolling media sosial yang hanya
membuat overthinking) adalah dua di
antaranya.
Buku yang merupakan seri kedua self healing ini bukanlah buku untuk
mereka yang sedang galau saja, melainkan siapa pun yang ingin memaknai hidup
secara lebih mendalam. Bahwa kelak, cepat atau lambat, semua akan sadar bahwa
orang yang akan selalu menjadi sahabat sejati hanyalah diri sendiri. Jadi,
jangan terlalu bergantung perasaan pada orang lain jika tidak mau dikecewakan.
Dalam konteks lebih agamis, yang kelak menjadi teman sejati manusia adalah amal
ibadahnya. That’s why, ketika manusia
berbuat baik sesungguhnya ia berbuat baik untuk dirinya sendiri, pun
sebaliknya. Jangan pernah merasa rugi jika tak pernah kebaikanmu tak pernah
berbalas. Positive thinking saja.
Mungkin, karena saking berharganya apa yang kamu lakukan, sehingga yang akan
membalas bukanlah manusia, melainkan langsung Sang Pencipta.