Manusia kadang menjadi makhluk yang paling tidak tahu diri. Betapa tidak. Harusnya bersyukur diberi kesempatan, tapi seringnya malah minta nambah. Ketika "bonus" tsb tak terealisasi, jiwanya langsung rapuh. Kalau ujung-ujungnya malah "tantrum" dan "rewel", harusnya sejak awal tak mendapatkan kemudahan, kan?
Ini tak sedang ngomongin atau ghibah-in orang lain. Siapa kita berhak ngejembrengin dosa. Tak lain tak bukan, statement di atas adalah untuk "menampar" diri sendiri. Bila pun banyak yang tersindir, alhamdulillah deh ada temannya. 😛 Mari kita sama-sama legowo mengakuinya. 🤣
Ceritanya, sore ini, aku melakukan perjalanan darat Malang - Jakarta. Aku dan Taka sedang di kereta saat postingan ini dibuat.
Seolah sudah SOP, setiap kali bisa pulang kampung, aku hampir hampir selalu meloww saat harus kembali merantau. Pikiranku ke mana-mana: mulai dari ibuku yang semakin tua, keluarga cemara yang menerimaku apa adanya tanpa syarat ina inu, hingga lingkungan sekitar tempat tumbuh & berkembang yang mengingatkanku akan banyak hal.
Padahal, kalau dilihat dari sisi lainnya, harusnya aku bersyukur. Tahun ini, aku bisa poelkam 4 kali (dari normalnya setahun sekali). Kalau dilihat dari rekam jejak, harusnya aku juga sudah cukup terlatih. Meski bukan sejak kecil seperti anakku, tapi berkelana sejak 2009 menurutku udah lumayan banget. 😛🤣 Ehh, lahh, tapi kok ya tetap sajaa perasaan campur aduk yang tak bisa kudeskripsikan itu melanda.
Apakah di tanah rantau, aku enggak betah? Enggak juga. Bahkan kalau ditarik benang merah, alhamdulillah sampai detik ini, Allah selalu mempertemukanku dengan orang-orang baik. Nikmat Allah mana yang kamu dustakan? (Aku yakin ini semua karena doa ibuku & mama mertua). It means, sejauh ini, aku selalu menikmati di mana pun itu.
Lantas, apa masalahnya?
Ternyataa, jaauhhh di lubuk hati terdalamm, aku menginginkan untuk selalu dekat secara fisik enggak cuma dengan anak dan suami, tetapi juga orang tua dan saudara. Hanya saja, aku kerap gengsi mengakui. Jauh di lubuk hati atau alam bawah sadar, aku juga punya keyakinan tak tergoyahkan bahwa yang kusebut di atas adalah orang-orang yang menerimaku apa adanya, bahkan saat aku berada di titik terendah. Tentu saja hal ini tak bermaksud mencurigai orang-orang yang aku temui di kampung atau negeri orang. Enggak sama sekali. Sebagaimana yang aku jelaskan di atas, Allah tuh Maha Baik karena selalu mempertemukan aku dengan orang-orang keren di mana pun itu.
Menurutku, dua hal yang aku sebut di atas tsb memiliki konteks yang berbeda. Boleh jadi karena aku introver sehingga tak mudah all-out dengan orang lain alias selalu memiliki batas. Oh kamu hanya boleh sampai ruang tamu, bukan kamar pribadi. Seperti itulah perumpamaannya kira-kira. Dan aku hanya bisa all-out tanpa batas kepada orang-orang yang aku sebut di atas. Boleh jadi juga, ada peristiwa traumatis di masa lalu yang tak bisa kujelaskan secara gamblang yang membuatku jadi menetapkan "batas wilayah".
Then, ketika kemudian aku jauh dari mereka, pikiranku mengingatkan secara otomatis, "Gak bisa lagi kamu ekspresif. Ingat, ya!"
Bersama mereka, tak ada kata waspada. Dengan mereka, tak ada istilah membangun "tembok" karena khawatir dikhianati.
Tapi, begitulah dunia. Isinya memang keterbatasan, termasuk keterbatasan waktu. Sebagaimana kata-kata klise yang kerap diucapkan orang-orang, "Ada pertemuan, ada perpisahan,"
Semangat!! Aku siap berjuang kembali di perantauan.
Jangan bersedih, Allah selalu bersamamu.
(Dalam perjalanan ke Jakarta menyusul suami yang sedang pendidikan untuk kemudian kembali ke Manado hari berikutnya).