Tulisan-tulisan sebelumnya terkait Kansai bisa dilihat di sini, ya:
- Pertama kali ke Kyoto di musim semi
- Daya tarik Kyoto dari sisi pendatang seperti kami
- Cara menjangkau Kyoto dari Tsukuba
- Perdana naik shinkansen ke Kyoto
- Perjalanan dari Tsukuba ke Osaka di Musim Gugur
- Menikmati Senja di Osaka
- Bertemu GlicoMan di Dotonbori Osaka
- Cerita Sepulang dari Universal Studio Japan
- Akhirnya ke USJ juga
- Bertemu Orang Indonesia di Osaka
- Ke Museum Anpanman di Kobe
- Hari Terakhir di Osaka: Mengunjungi Kastil
- Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama dengan Himeji
- Mengunjungi Kastil Himeji
- Hal Menarik yang Ditemui dari Museum Anpanman ke Stasiun Kobe
- Bertolak ke Kyoto Kali Kedua (setelah Osaka, Kobe, dan Himeji)
- Pengalaman Menginap di Hotel Mewah Murah Meriah di Kyoto
- Pengalaman Pertama Menginap di Kyoto saat Musim Semi
- Hutan Arashiyama
Salah satu momen yang tidak bisa kulupakan saat di Arashiyama selain hutan bambu adalah kereta Sagano-nya. Betapa tidak, kereta ini digadang-gadang sebagai kereta romantis. Keindahan alam Arashiyama dari sudut pandang yang berbeda bisa kita lihat dengan menggunakan kereta ini. Saat musim semi, kita bisa melihat sakura. Sedangkan saat musim gugur, kita bisa menikmati momiji. Mungkin karena itulah disebut kereta romantis ya. Sayang banget, saat kami ke sana di dua musim yang berbeda (semi dan gugur), sakura dan momiji belum adaa. Mungkin karena masih di awal musim. Meski demikian, kami tetap bisa menikmati keindahannya yang sampai sekarang seolah masih "terasa".
Saat ke sini pertama kali di musim semi, kami hanya sebatas melihat-lihat saja. Enggak ikut naik kereta. Yups, saat itu kondisinya masih sangat raamaaii. Berhubung hari sudah lumayan sore ketika kami sampai, jadinya kami lebih memilih menjelajah Arashiyama dengan cara lain ketimbang antree cukup panjang dan lama hanya untuk naik kereta. Alih-alih mengoptimalkan waktu, yang ada malah kehabisan waktu. Begitulah pertimbanganku saat itu.
Di kunjungan pertama awal musim semi 2020, aku hanya memfoto suami & anakku di depan stasiunnya.
Kurang sepi apalagi, coba. |
Alhamdulillah, menjelang keberangkatan, orang-orang berdatangan. Kami enggak jadi sebatang kara. |
Dilihat saja ya, Nak. Alhamdulillah, bocah enggak merengek. |
Sesuatu yang sangat mainstream di Negeri Sakura. |
Disuapin ayah. |
Bermain sama adek yang baru dikenal. |
Karena gagal foto kondisi di dalam kereta, ya sudah selfie saja, huehehe. |
Lucu banget kan terbuat dari kayu. |
Orang-orang bersiap untuk kembali ke stasiun I. |
Bapak kondektur memberikan pengumuman bahwa kereta akan segera berangkat sesaat lagi. |
Tempat beli tiketnya. |
Foto dulu meskipun sambil gendong bocah yang ketiduran. |
Tugas Manusia Memang Berusaha
Tugas manusia "hanyalah" berusaha dan memberikan yang terbaik. Masalah hasil? Itu mah hak prerogatif Allah. 🙂
Sehingga ketika melihat orang lain berkomentar yang bersifat meremehkan usaha orang lain entah dalam menggapai rezeki atau yang lain, rasanya kok kocak aja gitu🤣. Kocak dengan komentar meremehkannya itu. Ya memang tugas manusia cuma berusaha kok. Kita aja sedetik ke depan mau ada apa, enggak tahu. Pun dalam hal mengusahakan sesuatu. Kita hanya sebatas melakukan yang terbaik. Kalau toh hasilnya belum terlihat, ya memang tidak ada hasil yang instan, bukan? Berusaha semaksimal mungkin namun belum berhasil masih jauh lebih mending ketimbang diam saja enggak ngapa-ngapain dan sibuk mengomentari orang lain. Tentu, kita enggak mau ya jadi pecundang yang cuma bisa mencela seolah sempurna tapi enggak mau usaha. Na'udzubillah.
Untuk semua orang (kita semua) yang saat ini sedang berjuang dalam hal apa pun, semangat ya!
Allah melihat prosesnya. Percaya, Allah akan memberikan yang terbaik karena DIA tak akan pernah mengecewakan hamba-Nya.
Lanjutan Eksplorasi Kansai: Hutan Bambu Arashiyama
- Pertama kali ke Kyoto di musim semi
- Daya tarik Kyoto dari sisi pendatang seperti kami
- Cara menjangkau Kyoto dari Tsukuba
- Perdana naik shinkansen ke Kyoto
- Perjalanan dari Tsukuba ke Osaka di Musim Gugur
- Menikmati Senja di Osaka
- Bertemu GlicoMan di Dotonbori Osaka
- Cerita Sepulang dari Universal Studio Japan
- Akhirnya ke USJ juga
- Bertemu Orang Indonesia di Osaka
- Ke Museum Anpanman di Kobe
- Hari Terakhir di Osaka: Mengunjungi Kastil
- Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama dengan Himeji
- Mengunjungi Kastil Himeji
- Hal Menarik yang Ditemui dari Museum Anpanman ke Stasiun Kobe
- Bertolak ke Kyoto Kali Kedua (setelah Osaka, Kobe, dan Himeji)
- Pengalaman Menginap di Hotel Mewah Murah Meriah di Kyoto
- Pengalaman Pertama Menginap di Kyoto saat Musim Semi
Ternyata lumayan banget ya tulisanku tentang Kansai. Kalau disusun dengan lebih rapi dan "ditambal" sana-sini bisa dibikin buku barangkali, huehehehe.
Nah, kali ini, apa yang akan kutulis terkait pengalamanku dua tahun yang lalu saat ke Kansai? Dipilih-dipilih. Sezuzurnya, aku sudah lumayan lupa, heuuu.
Baiklah, aku akan berbagi cerita tentang kunjungan (beuh, kunjungan katanya) kami ke hutan Arashiyama di musim semi dan gugur tahun 2020 silam.
Arashiyama di musim gugur, kunjungan II. |
Meskipun terlihat panas, tapi aslinya dingin sejuk secara sudah masuk musim gugur. Hawanya masih berasa hingga sekarang. Tsaah. |
Taka terlihat sangat menikmati. |
Hal lain yang harus kita siapkan terutama jika pengunjungnya ramai adalah... SABAR. Ya, sabar jika ingin foto-foto karena harus gantian. Bersyukur meskipun hanya berupa kode-kode cantik saja tanpa komunikasi sedikit pun, wisatawan lokalnya sudah sangat paham dan tepo sliro kalau kata orang Jawa, enggak yang menguasai wilayah itu sendiri bersama geng-nya gitu maksudnya alias benar-benar mau gantian. Masyaallah. Sampai sekarang sikap mereka yang seperti itu masih terpatri dan berkesan banget di hati.
Benarkah Kebutuhan Tak Terbatas
Menurut ahli ekonomi, kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas, sedangkan alat pemenuhan kebutuhan manusia jumlahnya terbatas. Kebutuhan manusia sifatnya seperti deret ukur sedangkan alat pemenuhan kebutuhan jumlahnya seperti deret hitung. Kebutuhan manusia yang katanya tidak terbatas tersebut dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk yang jumlahnya juga seperti deret ukur dan tidak bisa diprediksi. Di samping itu memang sifat manusia yang tidak pernah puas turut berkontribusi terhadap tidak terbatasnya kebutuhan manusia.
Apakah benar kebutuhan manusia memang unlimited?
Apakah benar kita akan terus mengonsumsi satu jenis produk dalam jangka waktu yang lama dan dalam jumlah yang banyak hanya untuk diri kita sendiri?
Apakah benar kita akan makan terus menerus tanpa berhenti?
Memang benar, kebutuhan manusia terus meningkat. Mungkin akan lebih tepat bila kita katakan kalau kebutuhan manusia itu akan terus meningkat dan bukannya tidak terbatas. Kebutuhan manusia akan terus bertambah dan beragam, tapi kuantitas atau jumlah kebutuhan yang diinginkan untuk jenis yang sama tentu jumlahnya bukan unlimited. Apakah kita mungkin mengonsumsi bakso terus menerus tanpa jeda? Apa yang kita rasakan ketika setiap hari mengonsumsi nasi goreng? Setiap hari dalam jangka waktu tiga bulan?
Dalam ilmu ekonomi, juga dikenal dengan hukum Gossen yang membahas tentang kepuasan terhadap suatu barang atau jasa yang dikonsumsi. Menurut hukum Gossen tersebut, dikatakan bahwa sifat dari hampir semua manusia adalah tidak pernah puas. Ketika kita mengonsumsi suatu barang terus menerus maka kita akan merasa bosan pada titik tertentu. Seperti pertanyaan di atas misalnya, apa yang terjadi bila setiap hari kita mengonsumsi nasi goreng? Sekalipun nasi goreng rasanya enak dan pada awalnya kita suka, namun bila kita konsumsi setiap hari tentu lama-lama kita akan bosan. Dan hal itu juga berlaku pada produk atau jasa yang lainnya.
Bagaimana agar kita tidak dilanda kebosanan? Mungkin dengan mengatur apa yang kita konsumsi dan membuat variasi dari yang kita konsumsi. Sebagai akibatnya, bisa saja porsi konsumsi kita sama, namun jenisnyalah yang berbeda.
Lalu, apa hubungan antara pengaturan keuangan pribadi dengan hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya?
Dari paparan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa setiap dari kita atau semua orang, memiliki kemampuan untuk mengendalikan arus cashflow. Pada dasarnya keinginan kita terhadap suatu barang atau jasa pasti akan mencapai titik limit. Misalnya, tak selamanya kita akan menyukai benda A. Mungkin saja suatu ketika kita akan merasa bosan dan beralih ke B. Ingat, kebutuhan manusia memang akan terus bertambah dan beragam, namun keinginan kita sendiri terhadap barang yang sama apakah seterusnya tetap? Jawabannya adalah tidak! Itu sebabnya, kita memiliki potensi untuk mengoptimalkan apa yang kita dapatkan agar kita bisa membelanjakannya secara bijak.
Mungkin kita akan bertanya, bagaimana agar penghasilan atau pendapatan yang kita terima bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beragam tersebut? (To be continued)
Foto: perpusnasri |
(Tulisan ini bersumber dari buku saya berjudul Cash Flow Management untuk Awam & Pemula yang terbit satu dekade silam).
Rumah akan selalu menjadi tempat yang saya rindukan setelah beraktivitas cukup panjang dan lama di luar. Inilah yang saya rasakan sekarang. Lega. Alhamdulillah. Akhirnya bisa gegoleran di rumah meskipun enggak bisa lama sih karena sebentar lagi cuz ke FreshMart buat belanja. 🤭
Bukan berarti saya enggak menikmati kegiatan di luar, ya. Bukaann. Alhamdulillah, saya selalu menikmati apa pun yang terjadi *tsaah. I mean, saya bersyukur bisa melakukan banyak hal dan bertemu dengan banyak orang serta berpetualang ke tempat-tempat baru. Tapi ya itu tadi, dasarnya emang introver sih ya, jadi setelah cukup lama terpapar dunia luar, saya butuh nge-charge energi dengan menyepi dan menepi. Untuk menyeimbangkan diri, maksudnya.
Ada yang sama?
Maafkan kalau fotonya enggak nyambung. Ini foto perjalanan kemarin. |
Sumber: Unsplash |
Cash in dan cash out merupakan istilah lain dari pemasukan dan pengeluaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah familiar dengan istilah tersebut. Dalam cashflow management, pemasukan dan pengeluaran adalah unsur terpenting dan memegang posisi teratas. Secara ideal, kita tentu mengharapkan sebuah kondisi di mana pengeluaran lebih kecil daripada penerimaan, sehingga akan tercipta suatu keadaan yang disebut dengan cashflow positif.
Namun pada kenyataannya, menciptakan kondisi cashflow positif tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah, meski sebenarnya bisa dikatakan tidak sulit. Salah satu penyebabnya adalah karena sebagai manusia kita adalah makhluk yang sangat pandai dalam segala hal termasuk dalam membuat alasan atau mencari pembenaran. Benar tidak? Misalnya, saat kita masih berstatus pelajar atau mahasiswa dan ditanya oleh orang tua “Mengapa tidak menabung sebagian uang saku yang diterima?” maka biasanya kita akan menjawab kalau untuk kebutuhan sebagai pelajar dan mahasiswa sehari-hari saja sudah tidak cukup bagaimana mungkin bisa menabung. Mungkin kita juga akan menambahi jawaban kalau kita akan menabung setelah bekerja.
Saat sudah bekerja namun penghasilan juga pas-pasan, pertanyaan yang sama kita terima. Dan saat itu jawaban kita juga mungkin masih sama “Bagaimana mungkin bisa menabung dan menyisakan gaji, lha wong buat kehidupan sehari-hari saja sulit”. Kita pun mencari pekerjaan yang menjanjikan income atau penghasilan yang lebih besar dan alhamdulillah kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Kemudian? Lagi-lagi pertanyaan yang sama muncul karena kita mungkin juga melakukan hal yang sama. “Mengapa tetap tak bisa menyisakan penghasilan yang jumlahnya besar tersebut?” dan mungkin kita akan menjawab bahwa seiring dengan bertambahnya usia, kebutuhan kita pun semakin banyak, itu sebabnya kita tetap tak bisa menyisakan penghasilan kita, seberapapun banyaknya kita terima. Dan seterusnya. Tentu saja tak semua dari kita seperti itu karena contoh yang diambil hanyalah contoh yang sebagian besar dari kita banyak melakukannya.
Bila diibaratkan dengan sebuah kran, seperti pada gambar di atas, cash in dan cash out adalah kran air. Bila kran tersebut dibuka lebar, maka seluruh air akan tumpah dan kita akan basah. Namun, bila kran sama sekali tidak kita buka, maka kita akan kering dan kehausan. Yang paling bagus adalah membuka kran di waktu yang tepat serta dalam porsi yang secukupnya, tidak terlalu lebar juga tidak terlalu sempit. Sama halnya dengan penghasilan yang kita dapat, bila tidak kita pergunakan sama sekali maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Namun bila kita menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, hal itu sama saja dengan kita membuang uang kertas berwarna merah di sepanjang jalan, padahal sebenarnya kita masih membutuhkan uang tersebut.
Nyatanya, tidak mudah mengatur keuangan pribadi. Mungkin banyak di antara kita yang selalu mengeluh tidak cukup, tidak cukup, dan tidak cukup atau merasa kurang, kurang, dan kurang terhadap penghasilan yang sudah kita dapat. Ehm… mari kita renungkan. Benarkah kita memang kekurangan? Apakah kita tidak bisa membeli pulsa? Apakah kita tidak makan? Apakah kita tidak bisa jalan-jalan? Apakah kita tidak memiliki apa-apa? Jawabannya lebih banyak “tidak” daripada “iya”. Ketika sebagian besar dari kita mengeluh penghasilannya kurang kurang dan kurang, nyatanya setiap hari kita makan di restoran mahal. Ketika sebagian besar dari kita mungkin mengeluhkan gaji yang pas-pas-an, nyatanya kita masih bisa ganti HP dengan struktur yang lebih canggih. Dan ketika sebagian besar di antara kita begitu susah menyisihkan penghasilan walau hanya sebesar Rp 100.000,00 saja, nyatanya kita mampu pergi ke spa dengan budget di atas Rp 100.000,00. Jadi?
Cash Flow Management, Sebuah Pengantar
Alam bawah sadar kita telah mengajarkan tentang pentingnya cashflow management atau pengaturan keuangan pribadi untuk diri kita sendiri. Sedari kecil misalnya, kedua orang tua kita selalu berpesan untuk tidak menghabiskan semua uang saku yang mereka berikan. Di sampul buku tulis, kita juga sering melihat ada tulisan yang berbunyi “hemat pangkal kaya”.
Beranjak remaja, kita mulai mengenal bahwa kebutuhan tak hanya satu macam, melainkan beragam. Kita sudah mengenal kebutuhan untuk memanjakan diri seperti membeli majalah-majalah remaja atau produk-produk perawatan wajah. Saat itu, banyak di antara kita yang masih belum memiliki penghasilan sendiri atau masih meminta orang tua. Lalu, apa yang kita lakukan? Kita mulai mengerti bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus mengorbankan sesuatu yang lain. Untuk bisa membeli majalah remaja, kita harus rela tidak jajan selama seminggu karena uang saku yang kita miliki pas-pasan. Begitu juga yang kita lakukan untuk hal-hal lainnya. Untuk mendapatkan A, kita harus mengorbankan B, atau sebaliknya.
Saat dewasa, dunia kita semakin kompleks. Meski begitu, banyak di antara kita yang sudah memiliki penghasilan pribadi. Tak seperti saat remaja yang semuanya masih bergantung pada orang tua, kita sudah bisa mengendalikan dan mengatur diri kita sendiri secara total atau 100%. Tak lagi takut dengan ancaman kedua orang tua yang akan menghentikan subsidi uang saku atau hal semacamnya. Namun, di sinilah godaan itu mulai muncul. Godaan yang sifat dan ukurannya lebih besar daripada saat kita masih remaja dulu. Tak jarang, banyak di antara kita yang tergoda untuk menghabiskan semua uang yang kita miliki. Sehingga, sebesar apa pun gaji atau penghasilan yang kita terima hasilnya tetap sama, yaitu habis dalam waktu sekejap.
Dari penjelasan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa sejak kita masih kecil, dari mana pun asal dan dalam latar keluarga yang seperti apa, kita sudah sangat familiar dengan cashflow management, disadari atau tidak. Sekalipun mungkin dalam kehidupan nyata kita tidak sepenuhnya mempraktikkan bagaimana mengatur keuangan pribadi, namun kita meyakini akan pentingnya pengaturan keuangan pribadi. Cash flow management ibarat rambu-rambu lalu lintas atau penunjuk arah yang memandu jalan kita agar tidak tersesat.
Meski demikian masih banyak di antara kita yang mungkin belum melakukannya dengan alasan sepele seperti tak punya waktu untuk mengurusi hal-hal kecil seperti itu, nanti-nanti saja kalau sudah berkeluarga (bagi yang belum berkeluarga), belum memiliki penghasilan jadi apa yang harus diatur (bagi yang masih belum bekerja), serta alasan lainnya yang serupa. Padahal, melakukan perencanaan keuangan jelas adalah sesuatu yang penting karena pada dasarnya kita sebagai manusia memiliki banyak keinginan yang tak terbatas. Sedangkan alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut jumlahnya terbatas. Alat pemenuhan kebutuhan tersebut bisa berupa uang, waktu, dan kesempatan. Ketiga hal tersebut jumlahnya tidak melimpah seperti jumlah kebutuhan kita bukan.
Remaja, dewasa, pria, wanita, ibu rumah tangga, wanita karier, pengusaha, manajer, dokter, akuntan, mahasiswa, arsitek, dan profesi lainnya perlu melakukan pengaturan keuangan pribadi. Orang yang memiliki penghasilan tak terhitung atau bahkan yang memiliki penghasilan pas-pasan, semuanya perlu memiliki perencanaan dan pengendalian terhadap keuangan pribadi. Orang zaman dulu berkata bahwa kaya miskinnya seseorang tidak tergantung pada banyak sedikitnya penghasilan yang ia miliki, melainkan pada pengaturan penghasilan yang ia dapat.
(Tulisan di atas diambil dari buku saya berjudul Cash Flow Management yang terbit belasan tahun silam).
Salah satu cara yang bisa kita lakukan saat kangen dengan orang yang sudah tak bisa lagi kita temui di dunia (selain berdoa pastinya) adalah... melakukan sesuatu yang kerap dilakukan orang tsb. Apalagi, jika kita sendiri juga memang sudah suka sejak lama. Klop, deh. Menurutku, inilah motivasi terkuat yang insyaallah tak akan mudah goyah.
Bapakku suka berolahraga (tidak merokok dan tidak ngopi), aku pun. Bapakku suka menulis dan membaca, aku pun. Meski demikian, ada juga kegiatan bapak yang gak terlalu aku sukai (padahal sekarang lagi happening), yakni berkebun. 🤭
Buatku, berolahraga tak semata-mata hanya sekadar gerak-gerak saja. Nope. Pun menulis, tak hanya sekadar menuangkan ide. Setelah bapakku meninggal, kedua kegiatan tsb ibarat "jembatan". Saat melakukannya, aku merasa terkoneksi dengan bapakku. Hatiku seolah berkata, "Bapak biasanya ya begini," seperti itulah kira-kira. 😊
Meski jenis olahragaku dan bapak berbeda. Meski mediaku menulis dan bapak juga berbeda. Tapi, poin kegiatannya sama, kan.
Yeah, pada dasarnya, setiap orang punya alasan kuatnya masing-masing kenapa kekeuh melakukan suatu hal. 😊
First love |