Orang yang punya sensitivitas tinggi dan tak bisa dengan mudah dekat dengan orang lain (kalau baik iya, tapi dekat belum tentu) biasanya punya perasaan yang sangat mendalam. Ketika dia sudah menetapkan A, "seluruh hidupnya" ya hanya untuk A, ibaratnya begitu. Tak mudah percaya, tak mudah bercerita hal-hal pribadi, dan ia bisa sangat merasakan apakah lawan bicaranya itu tulus atau enggak. Emang sih kesannya seperti ngejudge padahal kan hanya Allah yang tahu ya. Tapi tenang, itu hanya untuk dirinya sendiri kok, batinnya. Mungkin karena ia ingin meminimalisir rasa kecewa ya jadinya tak mudah percaya dan benar-benar berhati-hati. Kenal, tapi sak sampai harus mendalam dan memasukkan semua perasaannya. Hanya ke yang benar-benar ia percayalah hal tsb terjadi.
Ini sedang ngomongin siapa btw, ngomongin diri sendiri? Bolehlah dibilang begitu daripada ghibahin orang lain kan yang ada malah dosa. Huehehe.
Sebagai orang yang memiliki perasaan sangatt sangat mendalam, merantau boleh dibilang melatihku untuk bisa cepat "move on". Bagaimana tidak. Setiap kali dekatt secara emosional dengan seseorang, kalau enggak ditinggal ya aku yang meninggalkan. :) Enggak apa-apa ya, namanya juga dunia.
Alhamdulillah, di setiap perantauan, aku selalu menemukan teman yang ngeklik banget. Enggak banyak sih, enggak sampai dihitung dengan dua jari juga. Kalau kenal banyak orang, iya. Tapi kalau untuk sampai ke tahap dekat bangett, hanya sedikit. Bagiku enggak masalah. Bukan jumlahnya, tapi kualitasnya, bukan.
Semendalam apa sih aku tuh orangnya? Bisa dipikir alias dinalar sendiri sebenarnya, ya. Dalam hal percintaan saja contohnya, ya. Aku dan suamiku sudah "berteman baik" sejak 2002, menikah 6 tahun kemudian alias 2008. Aku ingat banget saat itu kakak perpus sampai bilang ke aku kalau punya perasaan jangan terlalu mendalam apalagi nanti kamu (aku maksudnya) akan kuliah dan di sana bertemu dengan banyak orang. Ya, aku memang bertemu dengan banyak orang. Di antara mereka juga ada yang menaruh hati (tapi aku tak mau membahasnya karena tak penting dan bukan ini poinnya). Tapi, tetap saja, aku setia dengan satu nama (karena sudah merasa nyaman). Aku tak tahu apakah hal tsb berlaku juga untuk orang yang sangat mudah akrab dengan orang lain seperti mbakku. Ya, nyatanya meski sekandung kamu berbeda 180 derajat. Dan tentu saja enggak masalah. Menguntungkan malah karena bisa saling melengkapi.
Merantau kemudian melatihku sekaligus menyadarkanku bahwa dunia kerap berubah, termasuk orang-orangnya. Kadang aku membenarkan kata-kata kakak perpus yang tiba-tiba terngiang, "Kalau punya perasaan jangan terlalu mendalam nanti takutnya bisa kecewa, pas itu terjadi bisa kebanting banget," begitulah kelanjutan obrolan kala itu. Tak hanya dalam konteks percintaan saja tentunya, tapi juga secara umum.
Ya, sejatinya cuma Allah sebaik-baik tempat menggantungkan hati, ya. Jangan sampai "menduakan" Allah walaupun kita tak ada maksud seperti itu pastinya, ya.
Menjaga hati nyatanya bukan hanya persoalan gimana caranya agar kita enggak su'udzon dengan orang, enggak ghibahin orang, enggak iri, enggak dengki, atau semacamnya. Ya, tak hanya masalah itu. Menjaga hati nyatanya juga persoalan gimana agar perasaan kita terhadap makhluk tak semendalam itu sekalipun sebagai manusia kita pasti punya kecondongan/kecenderungan.
Allah sebaik-baik penjaga dan penggenggam hati. 😊
(Catatan dini hari ketika terbangun dari mimpi)
0 comments
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)