Kelak, ke mana pun kaki melangkah, semoga kamu tetap teguh di jalan Allah.
Di mana pun berada, kamu konsisten dengan apa yang kamu yakini.
Yakin sama Allah, bersandar hanya pada Allah, jangan pernah khianati Allah, dan ketika tak sengaja berbuat kesalahan segera memperbaiki, ini kuncinya, Nak.
Semoga kamu bisa jauh lebih baik daripada Ayah dan Bunda, lebih salih, lebih semua yang baik-baik yang bisa mendekatkan dirimu sama Allah.
Dunia hanya sementara. Jangan kamu tukar dengan kesenangan sesaat yang kadang nampak menggiurkan.
Doa bunda tak putus-putus semoga Allah selalu menjagamu, semoga cahaya iman terus berkobar dalam hatimu.
Raihlah mimpi setinggi-tingginya, Nak. Gunakan untuk kebaikan. Jangan lupa, bersandarlah selalu tanpa sedetik pun lupa hanya kepada Allah, Sang Pemilik serta Penguasa Kehidupan.
Semangat, anakku!
Kita semua hebat! Inilah yang aku percaya, aku yakini. Kita semua bisa beradaptasi karena kalau tidak bisa pastinya sudah lama punah. :)
Setiap orang diberi kemampuan oleh Allah untuk beradaptasi dengan cara & keunikan masing-masing. Ada yang dengan sisi lembutnya (kekuatannya ya kelembutannya itu), ada juga yang dengan sisi kuatnya.
Si A, misalnya. Karena kelembutan & sisi sensitivitasnya yang tinggi yang notabene memang sudah dari "sononya" begitu, efeknya banyak orang jadi merasa nyaman ketika berinteraksi dengannya. Si A punya banyak teman. Setiap butuh sesuatu ada aja jalan/yang nolong. Bahkan, ketika berada di hutan sekalipun, Allah seolah "mengirimkan" manusia untuk menjadi temannya. Kalau boleh kita berkata, cara si A survive ya dengan sisi lembutnya itu. Kekuatannya ya kelembutannya.
Lain A, lain B. Dia tegas dan keras juga kerap berkata tanpa basa-basi atau kalau kata orang tanpa disaring dulu. Tapi, memang tak ada maksud buruk. Seperti itulah adanya. Yang betah berinteraksi dengannya haruslah yang punya mental sekuat baja dan hati seluas samudera. Tapi, ya memang seperti itulah cara dia survive dan menjalani kerasnya hidup. Dengan sikapnya yang demikian, orang-orang jadi tak mudah mempermainkan. Maka kalau boleh dibilang, si B bertahan dengan ketegasan dan kerasnya diri.
Menurutku, dalam contoh kasus di atas, baik si A maupun si B, keduanya sama-sama keren, sama-sama hebat dengan cara masing-masing. Rasanya, kurang bijak juga kalau A dipaksa jadi B atau B dipaksa jadi A, dipaksa jadi seseorang yang bukan dirinya hanya untuk mendapat pengakuan hebat dan kuat. Toh, hidup ini bukan tentang menang dan kalah. 😊 Kalaupun kita bertarung, dengan diri sendirilah "lawannya". Apakah kita saat ini sudah lebih baik daripada kita yang dulu?
(Manado, di sekolah anakku)
Tidak Banyak Menuntut adalah Keniscayaan
Ini juga tulisan lamaku yang sempat kumasukkan draft lagi. Kureposting, ya.
**
Dalam hidup, tak semua yang kita inginkan harus (atau akan) terwujud. Beberapa butuh waktu lebih lama, sisanya malah tidak akan pernah terjadi sama sekali hingga kita meninggalkan dunia ini.
Dari 100 keinginan dan dengan asumsi kita usahakan semuanya dengan sebaik-baiknya (alias enggak cuma pasrah seperti menunggu hujan turun dari langit), bisa keturutan atau jadi kenyataan 80 - 90 aja itu udah sangat sangat patut disyukuri.
Hal yang berhubungan dengan "mengubah" orang lainlah yang kemungkinan terwujudnya lama/malah tidak akan pernah. Hal-hal yang berhubungan dengan "menggantungkan" harapan ke orang selain diri sendiri adalah yang kemungkinan terwujudnya rendah.
Misalnya, seorang anak membayangkan punya orang tua yang selalu mendukung dan tak pernah mengecilkan usahanya. Tapi ternyata, yang ia dapatkan sebaliknya. Si anak sudah berusaha memberi kode dengan membelikan orang tuanya buku-buku parenting, tapi hasilnya nihil.
Atau, lagi, seorang wanita begitu kesal melihat sikap ganjen temannya. Dia merasa si temannya biasa aja, tapi kenapa sangat ganjen. Ya bukan berarti yang "tidak biasa" boleh ganjen, ya enggak gitu juga sih. Wanita tersebut sudah sering mengingatkan secara tidak langsung, tapi hasilnya zonk. Tetap saja sikap si teman bikin geli.
Sebaliknya, keinginan yang berhubungan dengan diri sendiri, kemungkinan terwujudnya masih cukup tinggi persentasenya. Contoh, seseorang ingin sekali tinggal di Jepang. Dia pun membuat rencana: dua tahun belajar bahasa Jepang, tahun ketiga melamar sebagai perawat lansia di negeri Sakura. Kemungkinan terwujudnya masih sangat sangat ada, kan.
Hal-hal yang berada di luar kendali memang harus kita sikapi dengan sebaik-baiknya. Kita tidak bisa memuaskan orang lain sebagaimana mereka semua juga belum tentu bisa memuaskan kita.
Sumber foto: terlampir |
**
Tondano, 2022
Manado terik hari ini. Setelah menginap semalam di Tondano, kami bertolak ke Tomohon kemudian pulang. Wait, pulang? Ehm, sebenarnya sudah sejak lama aku bertanya pada diri sendiri: pulang itu apa? Saat tinggal di Tsukuba, kami menyebut Ichinoya sebagai tempat pulang setelah berpetualang ke Jepang bagian lain. Saat di Balikpapan, kami menyebut Pondok Karya Agung sebagai pulang. Pun saat tinggal di Lampung, Bekasi, termasuk kampung halaman kami Batu. Jadi, pulang itu apa? Tiap orang punya definisi berbeda ternyata. Bagi perantau atau nomaden seperti kami, Manado berarti pulang (karena saat ini tinggal di sini). Namun, ke Batu kampung halaman juga kami sebut pulang.
Ah, sudahlah, daripada rempong dengan definisi PULANG, lebih baik menikmati yang ada saat ini. Yes, Manado terik hari ini sebagaimana yang aku tulis di awal. Efeknya? Ehm, petangnya jadi nampak sangat indah. Ya, meskipun saat hujan indah juga sih tapi dalam bentuk yang berbeda.
Seperti biasa, setiap selesai berpetualang dari daerah lain dan kembali ke Manado, kami selalu mampir ke daerah reklamasi Megamas sebelum benar-benar ke rumah. Nongkrong dulu di situ sebentar seolah puas-puasin sebelum nanti pindah lagi... eh. Huehehe, yeahh... ngomong-ngomong, udah mau setahun nih di Manado. Enggak kerasa, ya. Ke mana ya takdir akan membawa kami berpetualang selanjutnya? Dan, kapan? 😂🤣 Yang terakhir becanda yess mungkin efek teman-teman yang cukup dekat denganku pada mau pindah karena suaminy pindah tugas & ada yang sekolah juga. Ya, begitulah dunia. Tak ada yang abadi. Pintar-pintarnya saja kita menikmati sambil menunggu Allah memanggil untuk beneran... PULANG. Semangat menjalani hari-hari, ya!
Ini foto-foto Manado hari ini (cuma daerah Megamas & Jembatan Soekarno aja)
Untuk Apa Terobsesi Ingin Dianggap Baik?
Ini adalah tulisan lamaku yang sempat kumasukkan draft. Aku reposting, ya.
**
Utuk apa terobsesi ingin dianggap baik oleh manusia padahal manusia adalah tempatnya salah dan lupa yang itu artinya tidak mungkin 100% suci tanpa noda.
Sejatinya, yang paling tahu diri kita ya kita sendiri (plus Allah tentunya). Bila pun orang-orang sekampung menilai kita baik, yang benar-benar tahu apakah kita seperti yang mereka katakan ya kita sendiri.
Sungguh, ingin dianggap itu melelahkan. Lama-lama, kita akan takut salah dan capek sendiri. Pada akhirnya, kita akan kehilangan jati diri karena berusaha menjaga pride agar tak ternoda. Ehm, capek sih hidup seperti itu.
Yuks, jadi diri sendiri saja, Kawans. Berusaha jadi lebih baik bukan karena ingin dianggap baik, tapi memang karena ingin ada kemajuan dalam diri.
Semangat menjadi lebih baik dari hari ke hari, ya!
Sumber: terlampir |
Banjir Rob Tiga Meter Menerjang Kawasan Reklamasi Manado
Tulisan ini sudah saya buat Desember tahun lalu sesaat setelah kejadian. Tapi, saya baru mempostingnya hari ini. Maafkan kalau sudah basi, tapi setidakny postingan ini sebagai pengingat, utamanya buat saya sendiri bahwa alam tak bisa diremehkan. Ia bisa sangat indah, bisa juga menakutkan saat "marah". Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah, ya.
(Sengaja saya posting tanpa mengedit kata-katanya ya, jadi setting waktunya pun masih tahun lalu, semoga tidak membingungkan pembaca)
**
Selasa 7 Desember beberapa petang yang lalu, banjir rob tiga meter menerjang kawasan reklamasi Manado. Saya sedang berada di rumah saat itu. Padahal biasanya, saya dan Taka kerap melihat sunset, mengabadikan, dan membagikan keindahannya di media sosial. Namun, karena Taka baru saja sembuh setelah seminggu sakit, alhasil hari itu saya lebih memilih di rumah saja menikmati hujan deras ditemani kopi hangat sembari menunggu suami pulang.
Sebenarnya, beberapa waktu sebelumnya, peringatan akan curah hujan yang tinggi plus gelombang pasang dari BMKG Manado sudah ada. Tapi, sungguh, saya tak menyangka kalau kenyataannya bisa seseram itu.
"Ya Allah, Ya Rabb," hanya itu yang mampu saya katakan saat melihat video ombak tinggi menerjang Manado Town Square (MANTOS), salah satu kawasan reklamasi, kiriman salah seorang ibu di grup WA organisasi.
Teman-teman bisa mengeceknya sendiri di YouTube atau Google karena baik video maupun artikel mengenai banjir rob tiga meter menerjang kawasan reklamasi Manado sudah tersebar luas di media sosial. Entah, saya kurang paham juga, siapa yang mengabadikannya. Masih sempat, ya.
Sebenarnya, kejadian seperti ini bukanlah kali pertama. Konon, pertengahan Januari 2021, banjir rob setinggi 3 - 4 meter juga pernah menerjang wilayah reklamasi, begitu kata salah seorang teman saya yang notabene warga asli Manado. Jika demikian, maka kejadian beberapa hari yang lalu adalah kali kedua di tahun yang sama. Allahu Akbar.
Sabtu 11 Desember, cuaca di kota Manado sudah cerah kembali atau kalau boleh dikatakan sangat panas. Hanya beberapa menit saja memang sempat turun hujan. Setelah selesai dengan urusan domestik, kami mencoba menyambangi Megamas untuk melihat-lihat. Benar. Gelombang laut tak seperti saat saya baru pertama kali datang ke mari Mei silam. Akhir tahun ini, ia lebih bergejolak. Saya jadi ingat kata kawan saat kami hendak ke Bunaken September kemarin. Katanya, waktu yang tepat untuk berlayar adalah pertengahan tahun sedangkan waktu yang sebaiknya dihindari adalah akhir tahun karena gelombang sedang tinggi-tingginya.
"Tempat tinggalmu jauh nggak dari tempat kejadian kemarin?" tanya seorang teman.
Dekat, bahkan bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Kalau tempat tinggal saya ibarat Ichinoya, maka Mantos atau Manado Town Square dan Megamas adalah ibarat Amakubo. Dulu, saya biasa jalan kaki dari Ichinoya ke Amakubo hanya untuk beli kecap di Toko Asia. Ya, lumayan dekat, bukan.
**
Sungguh, cuaca kerap berlaku seperti hati. Tak bisa dipastikan, hanya bisa diprediksi. 😊
(Di-posting saat kerjaan menulis artikel tinggal dua saja, istirahat bentar, ya)
Orang yang punya sensitivitas tinggi dan tak bisa dengan mudah dekat dengan orang lain (kalau baik iya, tapi dekat belum tentu) biasanya punya perasaan yang sangat mendalam. Ketika dia sudah menetapkan A, "seluruh hidupnya" ya hanya untuk A, ibaratnya begitu. Tak mudah percaya, tak mudah bercerita hal-hal pribadi, dan ia bisa sangat merasakan apakah lawan bicaranya itu tulus atau enggak. Emang sih kesannya seperti ngejudge padahal kan hanya Allah yang tahu ya. Tapi tenang, itu hanya untuk dirinya sendiri kok, batinnya. Mungkin karena ia ingin meminimalisir rasa kecewa ya jadinya tak mudah percaya dan benar-benar berhati-hati. Kenal, tapi sak sampai harus mendalam dan memasukkan semua perasaannya. Hanya ke yang benar-benar ia percayalah hal tsb terjadi.
Ini sedang ngomongin siapa btw, ngomongin diri sendiri? Bolehlah dibilang begitu daripada ghibahin orang lain kan yang ada malah dosa. Huehehe.
Sebagai orang yang memiliki perasaan sangatt sangat mendalam, merantau boleh dibilang melatihku untuk bisa cepat "move on". Bagaimana tidak. Setiap kali dekatt secara emosional dengan seseorang, kalau enggak ditinggal ya aku yang meninggalkan. :) Enggak apa-apa ya, namanya juga dunia.
Alhamdulillah, di setiap perantauan, aku selalu menemukan teman yang ngeklik banget. Enggak banyak sih, enggak sampai dihitung dengan dua jari juga. Kalau kenal banyak orang, iya. Tapi kalau untuk sampai ke tahap dekat bangett, hanya sedikit. Bagiku enggak masalah. Bukan jumlahnya, tapi kualitasnya, bukan.
Semendalam apa sih aku tuh orangnya? Bisa dipikir alias dinalar sendiri sebenarnya, ya. Dalam hal percintaan saja contohnya, ya. Aku dan suamiku sudah "berteman baik" sejak 2002, menikah 6 tahun kemudian alias 2008. Aku ingat banget saat itu kakak perpus sampai bilang ke aku kalau punya perasaan jangan terlalu mendalam apalagi nanti kamu (aku maksudnya) akan kuliah dan di sana bertemu dengan banyak orang. Ya, aku memang bertemu dengan banyak orang. Di antara mereka juga ada yang menaruh hati (tapi aku tak mau membahasnya karena tak penting dan bukan ini poinnya). Tapi, tetap saja, aku setia dengan satu nama (karena sudah merasa nyaman). Aku tak tahu apakah hal tsb berlaku juga untuk orang yang sangat mudah akrab dengan orang lain seperti mbakku. Ya, nyatanya meski sekandung kamu berbeda 180 derajat. Dan tentu saja enggak masalah. Menguntungkan malah karena bisa saling melengkapi.
Merantau kemudian melatihku sekaligus menyadarkanku bahwa dunia kerap berubah, termasuk orang-orangnya. Kadang aku membenarkan kata-kata kakak perpus yang tiba-tiba terngiang, "Kalau punya perasaan jangan terlalu mendalam nanti takutnya bisa kecewa, pas itu terjadi bisa kebanting banget," begitulah kelanjutan obrolan kala itu. Tak hanya dalam konteks percintaan saja tentunya, tapi juga secara umum.
Ya, sejatinya cuma Allah sebaik-baik tempat menggantungkan hati, ya. Jangan sampai "menduakan" Allah walaupun kita tak ada maksud seperti itu pastinya, ya.
Menjaga hati nyatanya bukan hanya persoalan gimana caranya agar kita enggak su'udzon dengan orang, enggak ghibahin orang, enggak iri, enggak dengki, atau semacamnya. Ya, tak hanya masalah itu. Menjaga hati nyatanya juga persoalan gimana agar perasaan kita terhadap makhluk tak semendalam itu sekalipun sebagai manusia kita pasti punya kecondongan/kecenderungan.
Allah sebaik-baik penjaga dan penggenggam hati. 😊
(Catatan dini hari ketika terbangun dari mimpi)
5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan saat Menunggu Anak Sekolah atau Les agar Tak Bosan
1. Ngobrol dengan Ibu-ibu yang Lain
2. Menyiapkan Draft Tulisan
3. Membaca
4. Telepon Ibu
5. Meng-update media sosial
Pagi-pagi baca ini di Instagram
Astaghfirullah. Seolah ini adalah pengingat untuk kita semua, untuk meluruskan niat lagi jika sempat berbelok.
Sebenarnya, manusiawi alias lumrah banget kalau manusia ingin "dilihat" dan diakui. Toh, Maslow menjelaskan dengan teori kebutuhannya. Semua manusia ingin dianggap ada.
Bahkan sejak dini pun, lingkungan sekitar seolah memang sudah meng-iya-kannya, bukan. Adanya kompetisi ini itu sejak duluu sejak zaman orang tua atau bahkan nenek moyang kita, adanya reward bagi yang berprestasi, dan siap-siap tak dianggap/tereliminasi bagi yang tak memiliki kompetensi adalah beberapa contoh konkretnya (yang dianggap wajar).
Bukannya tak setuju dengan cara-cara di atas hanya saja sekadar ingin mengingatkan bahwa semua ada efeknya. Misalnya karena terobsesi ingin jadi juara agar dianggap pemenang, yang ada malah sikut kanan kiri atau melakukan kecurangan atau malah putus asa dan tak bersemangat ketika kalah.
Padahal, sejatinya urusan kita adalah sama Allah. Tak peduli dalam proses belajar itu ada saja yang menertawakan, ketika niat kita lurus bukan karena ingin diapresiasi manusia, harusny kita tetap semangat, harusnya kita justru menikmati kegagalan tsb untuk belajar jadi lebih baik.
Hidup begitu dinamis. Kadang di atas, kadang di bawah, kadang di tengah. Kadang ditertawakan, kadang dipuji, kadang dicaci. Saat niat kita memang lurus hanya untuk Allah, harusnya semua itu memang tak berarti. Tapi apalah daya, kadang kita sebagai manusia kerap lupa, mudah tergoda dengan pesona-pesona dunia. Padahal, semua hanya sementara. Ditinggal di sini, tak dibawa mati.
Astaghfirullah.
Saling mengingatkan ya kita. Semoga bisa jadi hamba Allah yang lebih baik.
Sungguh, bersyukur banget ketika kita masih diingatkan karena artinya kita masih disayang.
Aku pernah baca kalau pada dasarnya manusia itu setting-annya adalah jujur, enggak mau berbohong. Ketika apa yang ia lakukan atau ucapkan bertolak belakang dengan apa yang dimaui, hatinya akan bergejolak luar biasa. Ini pun berlaku pada mereka yang ahli berbohong, tetap saja kok ada bagian keciill dari dirinya yang memberontak.
Kalaupun pada akhirnya mereka bisa melakukan apa yang terpaksa dilakukan biasanya secara tak sadar mereka akan menuntut orang lain yang dianggap lebih lemah juga harus melakukan hal serupa.
Misalnya, si A sejak kecil sudah dikondisikan harus berkata "IYA", tak pernah sedikit pun pendapatnya didengar. Pokoknya harus "IYA", harus nurut. Entah yang memaksa itu orang tuanya, gurunya di sekolah, atau siapa pun. Ketika si A kemudian tumbuh dewasa, jangan heran kalau dia juga akan menjadi diktator: enggak mau jawaban "TIDAK" dari orang lain terutama yang posisinya dianggap lebih lemah. Jiwanya seolah berkata, "Aku aja dulu mau nurut, kamu kenapa enggak, pembangkang banget,"
Beberapa orang bangga ketika ditakuti. Kalau aku sih memilih bangga ketika dicintai dengan tulus dari hati tanpa paksaan, yang benar-benar dari hatiii banget banget tanpa rekayasa atau ancaman.
Kembali lagi ke inti pembahasan di awal. Ya, manusia konon setting-annya itu tak bisa berbohong alias jujurr. Bila pun ia melakukan hal yang enggak ia banget karena suatu alasan kuatt, di hatiii kecil terdalamm ada sesuatu yang bergejolak luar biasa yang berusaha terus ditekan/ditutupi/dikendalikan yang entah kapan keluarnya.
Sesungguhnya, hanya Allah yang pantas disembah. Allah sebaik-baik pelindung.
Semangat selalu, para pejuang kehidupan.
Semangat selalu, jiwa-jiwa yang kuat.
Sesungguhnya, kepada Allah-lah kita semua akan kembali. Semoga kita tak akan pernah menjauh dari Allah, ya. Saling mendoakan.
❤️
"Yah, ketinggalan semenit. Bus C10-nya udah lewat," kataku biasanya pada diri sendiri saat masih tinggal di Tsukuba.
"Maaf, ya, listriknya nyala terlambat setengah jam dari yang dijanjikan," kata bapak petugas asrama mahasiswa kira-kira kalau di-translate ke bahasa Indonesia.
"Kita harus sampai di Tsukuba Senta jam sekian nih karena kalau sampai telat gak bakal dapat kereta pertama," kata suamiku.
Petugas kereta salah satu line bolak balik minta maaf seolah sudah melakukan tindakan kriminal luar biasa padahal masalahnya hanya satu: kereta telat beberapa detik.
Suatu ketika di kelas bahasa Jepang, aku merasa menang dan luar biasa bahagia hanya karena hal sangat sepele: bisa mengalahkan senseinya alias... senseiku telat. Langka memang. Kejadian superlangka. Beliau pun bolak balik minta maaf. Rupanya, senseiku benar-benar lupa.
Masyaallah.
Adaptasi bukanlah hal yang mudah (meskipun bukan berarti susah). Jangankan bocah 4 tahun, yang sudah dewasa saja kadang masih suka mengeluh. Kok gini ya, kok beda sama sebelumnya, dan kok kok lainnya.
That's why, Bunda bangga denganmu yang enggak pernah mengeluh meskipun diboyong ke mana-mana. Udah nyaman di A, pindah ke B. Udah nyaman di B, pindah ke C. Begitu seterusnya. Sesekali kamu memang bertanya, wajarr, tapi ya sudah enggak lebay juga, enggak yang tiap detik bertanya bagaimana. Jalani, begitulah.
Anakku, dunia memang tempatnya berjuang, mengasah segala macam kemampuan dan belajar berbagai macam hal. Hidup adalah petualangan dan perjalanan. Bersyukurlah sejak kecil sudah terlatih beradaptasi dari satu tempat ke tempat yang lain karena sejatinya hidup selalu berubah dan mereka yang bisa beradaptasilah yang mampu bertahan. Begitu katanya.
Nak, kelak kamu akan bertemu dengan berbagai macam karakter manusia. Dari mereka, kamu akan banyak belajar juga.
Nak, hidup bukanlah persoalan bagaimana membuat orang lain terkesan. Itu tidak penting karena nyatanya hanya Allah yang benar-benar tahu seperti apa kita, hanya Allah yang berhak dan pantas menilai. Hidup adalah pembelajaran. Kadang kamu bertemu kekecewaan, kadang kebahagiaan. Kadang kamu dihadapkan pada hal-hal yang menantang, kadang kemudahan.
Semangat, ya.
😊
Pada akhirnya, kepada Allah-lah kita akan menyerahkan segala macam urusan.
Benar memang, tugas manusia hanya sebatas berusaha dan berdoa saja. Kalau ikut-ikutan mengatur yang ada lelah dan malah pusing. Merasa paling berhak, merasa sudah berusaha dengan keras, merasa sudah berbuat baik, dan merasa merasa yang lain. Akibatnya, hidup jadi penuh beban, hati dipenuhi banyak prasangka. Alih-alih ingin mendapatkan pahala, yang ada malah mendulang dosa. Astaghfirullah.
Ketika lelah, kepada Allah-lah kita mengadukan semuanya. Hanya Allah yang paling mendengarkan kita, bahkan Allah juga mendengarkan hal-hal yang tak sanggup kita ucapkan alias hanya terbersit di pikiran dan tersimpan dalam hati.
Bila pun kemudian kita jadi lebih kuat daripada sebelumnya, ingatlah bahwa kekuatan itu tidak datang begitu saja, melainkan atas seizin Allah. Kekuatan itu datang dari Allah.
Mengadukan segala macam hal yang menganjal di dalam hati dan mengeluh pada tempatnya (kepada Sang Pencipta) bukanlah hal yang memalukan. Justru di situlah titik baliknya kemudian. Sering, setelah mengakui bahwa kita sangat lemah, entah kenapa tiba-tiba jadi kuat. Kita bisa menghadapi hal-hal yang sebelumnya kita hindari karena suatu hal. Benar ya memang, Allah tuh mampu membolak-balikkan hati. Kita tanpa-Nya bukanlah apa-apa.
Dunia memang bukan tempatnya beristirahat, tapi berjuang. Semangat ya untuk kita semua. Semoga bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik.
Hai, jiwa-jiwa yang kuat
Sesungguhnya Allah tahu lelahmu, perjuanganmu, pengorbananmu, sakitmu, dan juga semangatmu bahkan sebelum kamu beri tahu
Bismillah....
Pengalaman Menulis 15 Artikel Seminggu dan 35 Artikel Tiga Minggu
Saya berharap pembaca tidak akan muntah-muntah apalagi kejang-kejang baca judul postingan ini. Sungguh, saya enggak bermaksud narsis, hanya sekadar ingin berbagi cerita saja yang ujung-ujungnya juga dalam rangka menyemangati dan mensugesti diri. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi. Iya, nggak?
Menulis 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu @ 1.000 kata, bagaimana ceritanya?
Jujur, menulis artikel dengan target tertentu sejatinya bukanlah barang baru buat saya. Bahkan kalau boleh dibilang, saya memang mengawali karier di dunia literasi belasan tahun silam ya sebagai penulis konten dari NOL dari belum ngeuh yang namanya SEO, keyword, key phrase, dan semacamnya. "Makanan" apa itu. Demikianlah kira-kira.
Saya belajar sambil jalan. Ibarat berenang, saya langsung disuruh nyebur tak peduli mau megap-megap, tenggelam, atau enggak. Tapi nyatanya, setiap manusia memang punya kemampuan beradaptasi dan belajar, ya. Berbekal passion di bidang penulisan yang sangat kuat, Alhamdulillah saya mempelajari semuanya dengan penuh suka cita. Sebenarnya, sampai sekarang pun saya masih terus belajar karena dunia kepenulisan konten itu terus berkembang seiring dengan makin populernya digital marketing. Kita enggak boleh mudah puas dengan skill yang kita miliki saat ini, bukan. Harus terus diasah biar enggak usang. Begitu katanya.
Di awal jadi ibu, saya sempat vakum alias memutuskan untuk tidak terikat dengan pihak mana pun dan fokus dengan si kecil. Bila pun tetap menulis, sifatnya bisa dikatakan sesuka-suka guwee. Alhamdulillah, saya menikmatinya. Toh, "kerempongannya" tetap sama kok cuma bentuknya saja yang beda. Saya hanya berusaha menikmati setiap tahapan kehidupan yang saya jalani.
Saat Taka sudah mulai besar, alhamdulilah kesempatan untuk bisa seperti dulu (seperti saat belum punya anak) satu per satu mulai terbuka. Salah satunya, ya ini. Meskipun jelas tak bisa disamakan ritme menulis saya saat belum punya anak versus sudah, tapi tetap sama-sama bisa dinikmati. Setiap status punya tantangannya masing-masing kok. Mungkin alasan itu juga yang membuat saya ingin menceritakannya di sini, sekaligus menjawab pertanyaan rekan saya beberapa waktu yang lalu.
Kembali ke masalah awal, bagaimana pengalaman saya berjibaku membuat 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu @1.000 kata? Saya jabarkan per poin, ya.
1. Usahakan kita menulis yang temanya kita bangett atau setidaknya kita tahu, jangan sampai nge-blank sama sekali
Poin ini sepertinya sudah rahasia umum, ya. Jelas dong, menulis hal yang sudah pernah kita alami, pelajari, amati, atau bahkan cintai akan lebih "mulus" ketimbang yang belum pernah kita "jamah" sama sekali. Yang kedua ini penyesuaian plus risetnya banyak memakan waktu. Kabar baiknya, kami memang diberi tema-tema yang "sefrekuensi". Alhamdulillah.
2. Jangan siakan-siakan waktu "luang" untuk membaca, mencari bahan, atau membuat draft tulisan
Emak-emak cari bahan nulisnya kapan? Tiap penulis mungkin beda ya, tapi kalau saya salah satunya adalah saat nungguin bocah sekolah. Waktu tsb kerap disebut waktu "luang", ya. Nah, saya tidak ingin menyia-nyiakannya. Sembari ngobrol dengan teman-teman yang juga sama-sama nungguin anaknya, saya mulai browsing-browsing atau setidaknya ngumpulin bahan-bahan dari perpustakaan digital. Cara ini cukup efektif di saya.
Waktu "luang" ini juga bisa dimanfaatkan untuk membuat draft tulisan. Contohnya saat ini saja, saya menulis ini saat nungguin anak les di EF. Masalah postingnya kapan, itu bisa malam hari sebelum tidur. 😁 Kebetulan, projek menulis artikel sedang libur beberapa hari jadinya saya bisa menulis di blog ini dengan tulisan lebih panjang huehehe.
3. Menyambung poin sebelumnya. Sebaiknya, kita sudah ada gambaran nanti akan buat tulisan seperti apa meskipun masih hanya sebatas di kepala sekalipun, jangan sampai nge-blank tak tahu harus berjalan ke mana. Jadi saat judul dibagi, biasanya saya sudah ada bayangan, "Oh, nanti begini," Dan, kembali lagi, hal tsb bisa terealisasi biasanya ketika tema tulisan "sefrekuensi" dengan kita.
4. Jangan remehkan draft-draft kecil sekalipun itu hanya di catatan HP
Yups, seperti saat ini misalnya, saya menulis di HP. Pun ketika pergi ke mana pun itu atau berkegiatan apalah, ketika kepala saya terbersit sesuatu, langsung saja saya tulis di note HP sebelum dia "kaburr". Ini terbukti ampuh bangett.
Jangan membayangkan menulis tuh harus dalam posisi tenang, santai, ada secangkir kopi, ada musik-musik, dan semacamnya. Nope! Bagi emak-emak, nulis harus bisa di mana saja. Kalau nunggu kondisi ideal, tulisannya bisa nggak jadi-jadi atau anak dan suami yang jejeritan. 🤣
5. Fokus dan jangan mudah terdistraksi, berani pilih prioritas
Kesannya mungkin sepele banget. Padahal di zaman serba digital seperti sekarang, poin nomor lima ini bisa jadi musuh utama. Untuk ranah penulis saja, godaannya huaaakeehhh alias banyak. Ingin ngeblog, ingin nulis buku, ingin ikut lomba, ingin jadi kontributor ini, ingin nulis skenario, ingin aktif di medsos, ingin anu, ingin itu, blablabla. Ya, nggak?? Ngaku! 🤭 Yakin bisa dijalani semuaa? Kalau masih "sebatang kara" mungkin iya bisa. Saya pun pernah mengerjakan banyak kerjaan beda-beda dalam satu waktu saat masih belum jadi ibu. Tapi ketika sudah ada tanggung jawab anak, maaf kalau saya tidak bisa. Biar gimana, anak adalah prioritas utama. Jadi ketika saya menulis A, pastinya harus merelakan B. Dan bagi saya, hal itu enggak masalah banget selagi bisa quality time dengan anak. Sedangkan "hanya" mengerjakan A saja, saya juga butuh manajemen waktu yang baik. Maklum, saya merantau, jauh dari saudara yang bisa dititipin anak (padahal berdasarkan pengalaman meskipun dekat dengan keluarga saya juga enggak mau nitipin anak), dan enggak ada ART (enggak mau ada "orang ketiga" sih lebih tepatnya). Jadi ya meskipun "cuma" mengerjakan proyek A saja misalnya, saya harus banget banget memanajemen waktu dengan baik.
6. Jangan tunda
Pastinya kegiatan kita enggak hanya menulis, ya. That's why, salah satu cara biar enggak keteteran ya yang bisa dilakukan sekarang lakukanlah segera jangan tunda nanti-nanti. Misal, ketika saya diminta membuat caption Instagram untuk organisasi ibu-ibu yang saya ikuti di sini di tempat suami bekerja. Ketika posisi saya saat itu sedang free (anak sudah selesai belajar & saya sudah selesai menyetor tugas artikel), maka saya akan membuatnya segera. Alih-alih nanti saja karena belum ada inspirasi yang ada malah keteteran karena ditunda berarti menambah pekerjaan. Apa pun itu, yang bisa kita lakukan sekarang, lakukanlah.
7. Beri pengertian anak saat bekerja
Buat saya, suami dan anak adalah support system terbaik. Mereka adalah anugerah Allah terindah. Kalau memberi pengertian ke suami mungkin mudah ya lha wong dia sendiri juga sibuk 🤣🤣, kalau ke anak ini yang sedikit menantang. Tapi, bukan berarti enggak bisa. Sejauh ini, anak saya cukup pengertian. Saya pun memenuhi haknya dulu sebelum bekerja, misalnya belajar atau main bareng dulu serta memastikan dia dalam kondisi kenyang. Jika semua hajatnya sudah terpenuhi, saya pun tenang saat harus fokus menulis. Dia juga enggak rewel dan bisa main sendiri. Dari sisi ini, sejatinya saya sangat bersyukur karena bisa bekerja tanpa harus meninggalkan anak.
Bekerja setelah jadi ibu memang penuh tantangan, sekalipun sifat pekerjaannya "merdeka" alias enggak terikat waktu seperti penulis konten yang notabene enggak butuh berangkat pagi pulang malam pakai seragam. Yups, meski tak seperti itu, tapi praktiknya tetap perlu trik agar semua yang dilakukan tak keteteran.
Tiap penulis pastinya punya cara berbeda, termasuk saya. Kalau saya, dengan menerapkan 7 hal di atas, mengerjakan 15 artikel seminggu dan 35 artikel tiga minggu bisa terlaksana. Kalau teman saya, mungkin beda lagi. Yang jelas, apa pun hal yang saat ini sedang dikerjakan, kita harus banget tahu kemampuan atau kapasitas diri ini seperti apa. Semangat, ya!
Rezeki juga tak melulu persoalan uang, uang, dan uang atau apa saja yang sifatnya kasat mata. Berada di lingkungan yang baik, memiliki keluarga yang menyenangkan, masih bisa melakukan banyak aktivitas, dan yang serupa... itu juga rezeki.
Kalau rezeki sudah diatur dan dijamin sama Allah, sudah ditakar, lalu untuk apa menjilat atau menginjak. Dapat rezeki belum tentu, dosa yang sudah pasti. Astaghfirullah.
Semoga kita semua bisa saling mengingatkan, ya.
Semangat terus belajar menjadi lebih baik. Aamiin.
(Sumber foto-foto: sudah tercantum di gambar, ya)
Malam ini saat menghadiri sebuah acara, kujadi ingat bapak. Kata-kata pembicaranya seperti yang sering bapak nasihatkan ke aku. Bahkan, profesinya pun sama seperti bapakku.
Bapak, aku kuat kok. Gak usah khawatir. Sampai bertemu lagi nanti. 🙂
Sudah lama aku tak ke sini. Terakhir 2021 kemarin. Sebagaimana yang pernah kutulis di postingan sebelum-sebelumnya bahwa sejak bapak meninggal, aku masih malas ngebolang. Pergi ya kalau benar-benar perlu: antar anak sekolah/les atau keperluan lain. Sungguh berbeda 180 derajat dengan tahun lalu apalagi jika dibandingkan dengan saat tinggal di Tsukuba yang hampir tiap hari ngeluyur sendiri naik bus/kereta/sepeda pancal/jalan kaki. Hidup memang selalu berubah, ya. 😊
2022 sebelum hari ini, perjalanan terjauhku cuma seputaran Manado aja. Ide ke Linow boleh dibilang sangat-sangat spontan. Itu pun dari suami. Semua bermula saat kami melayat ke daerah Pineleng, Minahasa, yang lokasinya sekitar 8-an km dari tempat tinggal. Melihat cuaca begitu cerah, bahkan cenderung panas membara, suami spontan mengajak mampir Linow pas pulang. Aku dan Taka ayo aja alias manutt. Toh udah lama juga enggak ke sana.
Tak dinyana, di tengah perjalanan, hujan turun. Deras. Seolah, tak ada jejak kalau sebelumnya panas menyengat.
Ya udah sih. Enggak apa-apa. Toh kalaupun kembali ke Manado udah "terlanjur basah" alias nanggung banget. Alih-alih memilih pulang karena hujan makin deras, kami malah membayangkan makan pisang sepatu di Linow sembari melihat keindahan danau plus menikmati hujan. 🤭 Alhamdulillah, kenyataan sesuai angan-angan. 😂
Enggak lama, sampailah kami di tempat wisata yang berada di daerah Tomohon ini. 😊
Bisa jadi, itu juga yang membuat Linow menjadi tempat favorit kami yang lain selain Megamas. Jika Megamas ibarat Tsukuba Senta, maka Linow ibarat Doho Park.
Dikirimin kakak seperguruan ini di grup kerjaan sebagai booster.
Aku tahu, kita semua pasti pernah merasa exhausted saat mengerjakan sesuatu.