Pengalaman Naik Pesawat saat Omicron Gentayangan
Tiga orang tenaga kerja asing asal China terdeteksi varian Omicron saat tiba di Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado Selasa 7 Desember 2021 silam. Begitulah berita yang kubaca di salah satu media online saat itu. Tentu saja, hal tersebut semakin menguatkan kami untuk sebisa mungkin enggak pergi-pergi yang menggunakan moda pesawat terbang.
Selain karena ada Omicron, sejatinya aku juga sudah malas naik pesawat kalau enggak terpaksa bangett. Beberapa poin di bawah ini adalah alasannya.
1. Pengalaman turbulensi yang cukup parah saat melakukan penerbangan Malang - Jakarta & Jakarta - Haneda akhir 2019.
2. Pengalaman yang sama saat BFG alias kembali ke tanah air dari Haneda ke Soekarno Hatta Maret 2021.
3. Pengalaman melihat kekisruhan saat naik pesawat jurusan Surabaya - Makasar - Manado. Saat itu sempat terjadi misscom atau entah apa namanya antara pihak teknisi versus maskapai. Yang satu mengklaim kalau si pesawat belum benar alias masih butuh waktu lagi untuk diperbaiki sementara pihak lainnya bilang dengan yakin kalau si pesawat sudah layak terbang. Akibatnya, penumpang jadi ribut sendiri. Mereka komplain sekaligus khawatir bagaimana kalau pesawatnya nanti jatuh, jadi yang benar yang mana.
4. Cuaca harian yang tidak mendukung: kalau enggak hujan deras disertai petir ya kabut tebal.
5. Udah merasakan sendiri selama di Jepang bahwa transportasi teraman dan ternyaman adalah kereta, bahkan beda pulau pun bisa.
Menimbang alasan-alasan di atas, rasanya sudah cukuplah ya untuk tidak naik pesawat kalau enggak penting banget. Jadi meskipun Omicron enggak bergentayangan seperti sekarang pun, aku memang sudah sangat enggan naik pesawat. Sekalian ajalah nanti pulang kampungnya saat hari raya 2022.
Meskipun kemudian dari kompas(.)com, aku tahu bahwa TKA yang sempat probable varian baru tadi ternyata negatif alias tidak terbukti Omicron yang itu artinya Manado sebenarnya masih aman-aman (semoga seterusnya), tapi tetap saja aku malas pesawat. It's enough. :D
Tapi, benar, manusia hanya berencana, Allah menentukan.
Kamis sore 30 Desember 2021, aku mendapat kabar kalau bapak meninggal dunia.
Innaalillahi wa Innaa ilaihi raaji'uun.
Suamiku gercep langsung izin pulang kantor. Tanpa pikir panjang, dia beli tiket pesawat untuk Jumat siang, lanjut kami tes sebagai syarat boleh terbang (hasilnya negatif).
Sesuatu yang tadinya sangat aku hindari ternyata harus aku lakukan.
Benar saja. Cuaca saat itu tidak mendukung alias hujan deras. Kakak pramugari cantik beberapa kali mengingatkan untuk tetap memakai sabuk pengaman karena turbulensi. Tapi, mungkin karena aku mendengar kabar yang jauh lebih sedih sehingga getaran selama penerbangan 2,5 jam pun seolah tak berasa. Pikiranku tak lagi tentang goncangannya kok lumayan banget ya, bukaan, bukan lagi tentang itu, tapi 100% tentang bapakku. Suami memegang tanganku erat, menenangkanku yang tak keluar air mata sedikit pun tapi memandang entah ke mana dengan tatapan kosong.
Tanpa bermaksud meremehkan, tapi yang jelas saat itu dalam pikiranku, "Omicron, turbulensi, jarak pandang yang sangat dekat, dll, apa itu? Otakku dipenuhi kalimat kalimat 'Ya Allah kematian adalah keniscayaan yang kita sendiri benar-benar tak tahu kapan'"
Herannya, aku masih bisa menutupi semua perasaan itu. Ketika bertemu dengan papa mertua yang menjemput kami di Juanda, aku ya seperti biasa, maksudnya enggak meraung-raung. Kami bahkan sempat makan karena memang belum sarapan (kecuali Taka).
Setelah beberapa hari pulang plus menyambangi kuburan bapak, aku kembali ke Manado. Ibuku adalah penguatku. Beliau luar biasa tegar MasyaaAllah. Beberapa kali bilang ke aku bahwa usia kita semuanya tuh milik Allah, jadi kita harus legowo dan tawakal. Yang penting, kita jalani hidup ini sebaik-baiknya saja agar selamat dunia akhirat. Mungkin nasihat beliau terasa sangat normatif dan lumrah, toh pesan ini kerap kita baca di mana-mana. Tapi dengan kondisi yang seperti itu, pesan itu terdengar sangat hebat buatku. Kata-kata beliau benar-benar membuatku kuat dan semangat. Enggak boleh meratap, harus tegar, serta menjalani hidup dengan lebih baik. Jadikan kematian orang terdekat ini sebagai pengingat agar selalu berada di jalan Allah. Aamiin. Intinya begitulah ya kira-kira amanat ibukku.
Senin pagi, kami berangkat. Tentu saja, sehari sebelumnya kami juga sudah tes dan hasilnya negatif. Untuk syarat terbang sendiri, setidaknya pengalaman kami saat itu, ya: aku dan Mas Ryan karena sudah vaksin lengkap jadi cukup tes antigen saja sedangkan Taka yang belum vaksin karena masih 4 tahun memang harus PCR.
Berbeda dengan saat berangkat yang cuek dengan kondisi saat terbang, saat kembali ke Manado ternyata aku sudah normal.
Aku merasakan dengan sadar goncangan itu lagi. Aku mendengarkan dengan saksama ketika ada pengumuman tentang jarak pandang yang tak kondusif dan turbulensi sehingga mengharuskan kami semua tetap memakai sabuk pengaman. Ya, cuaca lagi-lagi tak mendukung bahkan lebih parah. Beberapa penumpang menjerit ketika pesawat berguncang. Aku sadar, tapi sempat berpikir mengenai kemungkinan terburuk, ya udahlah ya kalaupun jatuh kan aku Mas Ryan Taka barengan jadinya enggak ada yang merasa kehilangan, plus bisa menyusul bapakku. Untungnya pikiran waras dan logisku kemudian mengambil alih, "Haii, dosa-dosamu masih banyak, kamu masih harus belajar lagi, misimu belum selesai. Dan lagi, gimana perasaan ibukmu setelah ditinggal suaminy kemudian ditinggal anaknya. Kamu gak boleh egois. Kalau bapakmu masih hidup, orangnya pasti marah kalau kamu pasrah begini. Hidup harus dijalani dengan semangat, berjuang hingga titik darah penghabisan, dan bukannya letoy gak jelas begini,"
Astaghfirullah. Seketika, aku tersadar.
Doa agar kami alias semua penumpang pesawat ini selamat tak luput aku panjatkan setelah tadi hanya diam dan berpikir ke mana-mana. Entah bagaimana akhirnya, setidaknya aku berusaha dengan yang aku bisa saat itu, yakni berdoa dan bilang ke Allah bahwa kami semua masih ada keinginan hidup, berharap diberi kesempatan lagi untuk menjadi hamba yang baik.
Aku kemudian ingat, beberapa tahun yang lalu, terbang Balikpapan - Surabaya atau sebaliknya adalah hal yang sering kulakukan saat masih dalam proses pengobatan. Dan saat itu, kegiatan terbang bukanlah hal yang horror. Belum pernah sekali pun merasakan hal seperti itu. Bahkan, saat hujan pun, rasanya semua bersahabat. Apa memang penerbangan ke Indonesia timur itu lebih menantang daripada ke Indonesia tengah? Entahlah. :D Yang jelas, traumaku dengan pesawat mulai ada sejak menyusul suami ke Jepang sebagaimana aku tulis di atas. Sebelum-sebelumnya, wolesss alias santai bangett, tenang bangett.
Belumlah reda kengerian penumpang dengan guncangan, lagi-lagi ada pengumuman yang intinya kalau pesawat tak mungkin mendarat di Manado karena cuaca yang masih buruk, maka pendaratan akan dilakukan di Makasar. Padahal posisi kami saat itu sudah ada di langit Manado. Sambil menunggu cuaca Manado membaik, pesawat akan berputar-putar dulu. Kondisi langit saat itu bagaimana? Hanya gelap yang terlihat. Beberapa penumpang terdengar terus merapal doa. Taka gimana? Tidur aja 🤭. Aku pun diam di luar, ramai sendiri di dalam pikiran.
Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kami semua. Pesawat bisa mendarat di Manado dengan sangat hati-hati dari arah yang berbeda. "MasyaaAllah salut dengan dedikasi pilotnya. Allah yang membalas semua kebaikan," kataku pada diri sendiri.
Sampai di Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado, apakah bisa langsung cuz ke parkiran (karena kendaraan kami titip di sana) setelah mengambil barang di bagasi, kemudian pulang? NOPE.
Inilah bedanya. Setidaknya yang kualami saat itu, ya. Enggak tahu kalau sekarang.
Kalau di Juanda, kami bisa langsung ke luar bandara alias enggak ada tes lagi. Toh, sebelum terbang, penumpang sudah mengantongi hasil tes negatif, kan. Nah, kalau di Sam Ratulangi, beda lagi. Begitu datang, kami harus tes lagi (kali ini gratis) meskipun saat terbang semua penumpang sudah mengantongi hasil tes negatif. Mungkin memang lebih ribet, tapi dengan begini, memang meminimalisir kecolongan. Tentu saja, kami enggak bakal bisa keluar sebelum hasil tes negatif keluar, kalau positif jelas ditahan. :D
Alhamdulillah, hasil tes kami negatif. Kami pulang: aku dan Taka didrop Mas Ryan ke rumah sedangkan dia langsung ke kantor.
Tak bisa dimungkiri, terbang setelah adanya COVID ini memang jadi ribet. Hal tsb sudah kami rasakan sejak BFG. Makin ribet lagi sejak adanya varian baru. Belum lagi masalah lain yang membuatku jadi makin malas terbang. Tapii, mau gimanaa lagi. Semua harus kita jalani sebagai bagian dari ikhtiar. Sebagai warga negara yang baik, pastinya kita mengikuti peraturan, yes. Tentu saja, seraya berdoa plus menaati prokes di mana pun berada.
Katanya, dunia memang bukan tempat beristirahat, tapi tempt berjuang. Nanti istirahatnya, nanti kita melihat hasil perjuangan ini, di sana, di akhirat.
Semoga kita semua bisa menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Aamiin.
16 comments
Turut berduka, ya, Mbak. Pasti nggak mudah, tapi semoga keluarga selalu dikuatkan.
ReplyDeleteSaya setuju, entah kenapa sekarang juga nggak tertarik naik pesawat. padahal, dulu selalu ngejar nyari tiket pesawat tiap mau mudik. Sekarang, anak-anak lebih senang naik kereta atau bus. Semoga omicron segera berlalu dan kita bisa lebaran dengan nyaman.
Innaalillahi wa Innaa ilaihi raaji'uun. Turut berduka cita yaa Mba.
ReplyDeleteMba aslisanya orang mana?
Semoga umicron tidam viral lagi. Ini ada info katanya masjid istiqlal ditutup saat ramadhan.
Insyaallah almarhum ditempatkan di tempat yang baik di sisi-Nya. Aamiin. Kata-kata ibu kak Miyosi memang lumrah, sama seperti kata saya. Tapi jika diberikan dengan tulus, terlebih bagi mereka yang senasib, insyaallah akan mengena di hati..
ReplyDeleteturut berduka cita ya mba, udah lama belum naik pesawat lagi semoga pandemi berlalu dan kita semua sehat selalu aamiin
ReplyDeleteEmang buat sedih ya kak, kalau pandemi datang kembali. Jadi buat khawatir lagi kalau mau bepergian. Stay safe buat kota semua kak.
ReplyDeleteInnalillahi Wa Innailaihi Rojiun.
ReplyDeleteTurut berduka Mbak.
Covid ini memang mengubah semuanya ya.
Tapi syukurlah, bolak balik perjalanannya hasilnya negatif ya, anaknya pun juga kooperatif untuk menjalani tes ya :)
Turut berduka cita mba, semoga alm husnul khatimah Aamiin.
ReplyDeleteJadi merasakan gimana rasanya naik pesawat saat COVID-19.
Selama masa pandemi, beralih ke kereta dan bis AKAP
Semoga almarhum bapak, mendapatkan surga terbaik ya, mbak. Diampuni segala dosanya dan diterima seluruh amal ibadahnya. Semoga ibunda mbak, sehat dan berkah rezekinya, aamiin.
ReplyDeleteMasyaalloh, kalimat closingnya mantap. Pengalaman luar biasa ya, penuturan yang apik. Tergambar suasana yang bikin deg-degan... Alhamdulillah masih diberi keselamatan
ReplyDeleteWah turut berduka cita Mbak, sedih ya Ortu meninggal itu, semoga di terima amal ibadahnya di sisi Allah SWT.
ReplyDeleteKemaren juga di bulan November saat ganas² nya Covid Bapak Ibuku juga meminggal cuma berjarak 1 minggu.
Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Turut berduka cita atas wafatnya almarhum Bapak, semoga husnul khotimah, Mbak.
ReplyDeleteSaya juga kurang suka dengan turbulensi setiap naik pesawat, tetapi mungkin kita bisa lebih berdamai dengan pikiran dan perasaan dengan banyak berdoa agar lebih rileks. Biasanya, pikiran yang kita takutkan justru akan menarik kejadian yang tidak kita inginkan. Law of attraction. Semoga lain waktu bisa lebih tenang ya, Mbak.
wah terima kasih mba untuk informasinya, sangat informatif,mengingat sekarang pearuran banyak yang berubah-ubah ya, kalau dengar langsung dari yang mengalami langsung dalam penerbangan jadi ada gamabran
ReplyDeleteSelama pandemi naik pesawat peraturannya lebih ketat ya, Mba. Terlebih saat varian baru Omicron masuk, ditambah mengalami cuaca buruk berkali-kali. Lelahnya pasti luar biasa. Dan, perjalanan darat menjadi pilihan yang lebih aman ya, Mba.
ReplyDeleteMbaa Miyosi, turut berduka cita ya mbaaa. Semoga almarhum Husnul khotimah dan sesungguhnya perasaan kehilangan akan seseorang, hanya diri kitalah yg sangat mengetahuinya ya kak. Bener bgt, aku jg ngeri banget untuk naik pesawat jika tidak ada sesuatu yg urgent banget
ReplyDeleteAku tuh sebenarnya heran deh, kenapa pemerintah nge highlit banget virus ini, jd yg lain terabaikan rasanya. Skg ad lg varian baru, Omicron. Hmm semoga aja gak separah covid
ReplyDeletesaya juga mbak selama corona ini nggak terlalu kepikiran jalan-jalan ke luar pulau lagi. ribet banget prosedurnya mana biayanya juga banyak tambahannya. akhirnya sekarang lebih sering menjelajah kota sendiri kalau mau rekreasi
ReplyDeleteMakasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)