Hujan deras masih mengguyur Manado pagi ini. Entahlah, apa memang begini atau bagaimana, tapi yang jelas sejak aku pindah Mei tahun lalu, kota ini lumayan sering hujan sekalipun bukan musimnya.
Melihat anakku yang notabene masih 4 th sedang gelendotan di balik selimut, jujur aku rada enggak tega untuk membangunkannya. Plus hujan deras pula. Harusnya sih bisa jadi alasan kuat untuk enggak sekolah, ya. 🤭 Toh masih TK A. Toh aku lihat sendiri kalau hujan jumlah teman Taka yang sekolah berkurang.
Senin ini, Taka dapat shift pagi, masuk pukul 08.00 waktu Indonesia bagian Manado yang notabene lebih awal satu jam daripada di Jawa atau lebih lambat satu jam juga daripada di Tsukuba.
Ya, keinginan atau mungkin tepatnya godaan, untuk tidak usah masuk saja begitu besar dengan alasan-alasan logis yang sudah kusebut di atas.
Tapi, kemudian, memori belasan tahun lalu kembali berputar dalam ingatan.
Dengan suasana pagi yang sama, hujan deras juga, seorang ayah berusia 55 tahun bersiap untuk mengantar puterinya sekolah SMA di kota. Bukan karena dia pengangguran sehingga bisa mengantar dan menjemput puterinya, sama sekali bukan. Tapi, itu memang sebagai bentuk mengganti waktu yang hilang karena sejak puteri bungsunya bayi hingga remaja, ia kerja di tempat yang jauh dan pulang beberapa bulan sekali. Itu pun di rumah tidak lama, hanya seminggu maksimal dua minggu. Sehingga, ketika kemudian ia ada kesempatan untuk resign setelah semua bekal alias modal terkumpul, laki-laki tsb bisa "bebas" punya banyak waktu dengan puterinya sembari menjalankan usaha dari kebunnya sendiri.
"Cepet!! Aku wes siap! Kamu masih kayak gitu dari tadi," sesekali laki-laki tsb marah karena puterinya dianggap lelet. 😀
Setelah puterinya siap, laki-laki tsb memakai mantel. Tak lama, si puterinya masuk ke mantel biar tak terkena hujan.
Sang anak tak tahu bagaimana kondisi jalanan karena kepalanya bersembunyi di balik mantel, tapi yang jelas Malang 20 th yang lalu enggak semacet sekarang. Yang ia tahu, sang ayah berburu dengan waktu agar anaknya enggak telat. Apalagi, hujan makin deras. Dia tak mau kalau puterinya itu "terpapar" hujan terlalu lama meski sudah berlindung di balik mantelnya.
"Makanya ta kamu tuh kalau siap-siap yang cepet. Kayak gini jadi ngebut," sesekali laki-laki tsb mengomel sembari batuk-batuk. Yang diomelin diam saja karena merasa bersalah.
"Jangan sampai telat. Kalau udah tahu masuknya pukul 06.30 pagi, jam 06.15 maksimal udah di sekolah. Jadi berangkatnya harusnya jam 05.30. La kamu gak, berangkat 15 menit sebelum masuk. Mau gak mau, Bapak harus ngebut biar kamu gak telat. Jangan sampai telat. Ini penting!" lanjutnya lagi.
Pukul 06.27, sang puteri udah sampai di sekolah. Enggak telat. Setelah mengucap salam plus berpamitan, dia segera masuk ke pintu gerbang sekolah.
Laki-laki tersebut adalah bapakku. Anak perempuan tsb adalah aku. Pak, terima kasih sudah mengajarkanku tentang KOMITMEN. Hal-hal semacam inilah yang membuatku menangis 😭. Bukan, bukan karena aku tak ikhlas. Aku sangat-sangat percaya bahwa keputusan Allah yang terbaik. Sebagai orang beriman, kita pasti percaya bahwa perpisahan karena kematian adalah sebuah keniscayaan. Cepat atau lambat, SEMUA orang pasti merasakannya.
Takdir Allah yang satu ini tak boleh diratapi. Kita percaya Allah pasti memutuskan yang terbaik, kan? Toh, nanti juga ketemu lagi. Toh, aku masih bisa berkomunikasi satu arah dengan mengirim doa. Sungguh, aku legowo dengan ketetapan Allah. Tapi, sebagai manusia biasa yang juauuuhh dari kata sempurna, mbrebes mili karena ingat pelajaran hidup yang diajarkan dengan contoh nyata boleh, kan?
Pak, makasih sudah mengajariku tentang KOMITMEN! Suamiku pun bertipe sejenis: memegang KOMITMEN. Sehingga, aku pasti berharap anakku kelak begitu.
"Taka, sekolah, yuk. Taka mau bikin percobaan hari ini sama Bu Putri Bu Gina dan teman-teman," kataku kemudian. Godaan untuk tak usah masuk saja meski hujan seolah menguap dengan sendirinya setelah aku "memutar" memori 20 tahun yang lalu.
Alhamdulillah, Taka sudah lebih siap daripada tadi yang masih gelendotan di selimut. Ia pun tahu bahwa hari ini masuk pagi. Kami bertiga berangkat bersama dengan ceria sembari cerita-cerita (Mas Ryan langsung ke kantor setelah ngedrop aku dan Taka di sekolah).
Meski baru TK A, meski masuknya juga tak lama (itu pun dibagi per shift jadi "jatohnya" anak-anaknya juga tak banyak), tapi tetap yang namanya komitmen harus dipegang alias enggak boleh seenaknya sendiri. Bukan, bukan karena ingin dicap ini itu, tapi lebih ke perasaan bersalah ketika mengingkari apa yang sejak awal sudah disepakati.
Alhamdulillah, sejauh ini kasus Covid-19 di Manado masuk dalam kategori bisa dikendalikan, meski tak boleh sembrono alias harus taat prokes. Aku biasanya mengecek kasus di Sulut melalui IG @perupadata. Sehingga, sekolah tatap muka memang sudah dilakukan. Tapi, memang masih dengan sistim shift dan dengan waktu yang terbatas, setidaknya di sekolah anakku sih begitu. Semoga kasus Covid-19 yang udah lama ini bisa segera berakhir ya dan semua daerah aman. Aamiin.
Btw, posisi saat aku menulis ini adalah di sekolah anakku yang ntar lagi pulang (dan masih hujan deras).
Terima kasih Bapak ajaranmu insyaallah abadi dan selalu terpatri dalam hati meskipun ragamu tak lagi di sini. Semoga Allah melapangkan jalanmu di sana ya, Pak.
2 comments
Bacanya ikutan mrembes mbaa 🥺 big hug untuk dirimu. Pasti memori2 indah bersama alm akan terulang begitu deras ketika seseorang yg kita cintai tiada, aku merasakan ketika Bapak juga pergi dan sampai saat ini masih kuat kenangannya berjejak diingatan, alfatihah untuk almarhum...
ReplyDeleteAamiin ya Rabb
DeleteAlfatihah juga buat bapakny nyur
Smoga beliau ditempatkan di tempat yg terbaik y say
Makasih nyurr
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)