Hal yang saya tulis kali ini bisa dibilang cukup atau bahkan sangat sensitif di tanah air (karena di negara lain bisa saja b aja alias bukan hal yang harus dibesar-besarkan/dihebohkan). ☺️
Hapakah gerangan?
Tidak bisa dimungkiri bahwa pertanyaan "kapan hamil" adalah pertanyaan cukup sensitif di kita, terlebih buat mereka yang sudah lama menikah tapi belum diamanahi buah hati. 🙂
Seperti yang saya alami selama masa penantian sebagai ibu beberapa tahun silam.
Saya memang menikah muda, usia 21 tahun tepatnya. Tapi perihal punya anak, barulah terwujud menjelang 30 tahun. Saya pernah menjelaskan di blog ini juga bahwa awalnya kami memang sengaja menunda. :)
Tidak sedikit yang kemudian bertanya apa saja yang kami lakukan sembari menunggu amanah baru sebagai orang tua?
Klise, sebenarnya. Toh, semua sudah tahu. Ya, menyibukkan diri sembari terus belajar parenting adalah jalan ninja kami waktu itu.
Saya pribadi sebagai calon ibu yang katanya lebih sensitif terhadap pertanyaan tsb berusaha memanfaatkan masa tunggu dengan melakukan banyak hal positif. Lumayan banget, setidaknya saya jadi tidak terlalu baper ketika ada pertanyaan dan pernyataan terkait anak.
Beberapa contoh kegiatan yang saya lakukan saat itu:
1. Bekerja to the max tak jemu-jemu: saat masih tinggal di Bekasi dulu, saya bahkan pernah bekerja di LIMA tempat (kantor konsultan manajemen, penerbit buku nasional, dan tiga agen naskah). Semuanya sebagai pekerja lepas.
2. Ngebolang bersama suami dengan beragam moda transportasi dan jenis wisata mulai dari yang biasa saja sampai yang ekstrim dan sedikit berbahaya.
3. Berkomunitas.
Alhamdulillah, sebagaimana yang saya katakan di awal. Beragam kesibukan tersebut nyatanya lumayan ampuh membuat saya lupa akan "tuntutan" masyarakat. 🤣
Meski di sisi lain ada pendapat, "Bukannya harus santai biar gak capek biar bisa hamil? Kalau sibuk, gimana bisa hamil?"
Tidak salah memang, tapii....
Hamil adalah sesuatu yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Kita sebagai manusia hanya sebatas berikhtiar saja. Makanya, saya justru stres dan kepikiran terus kalau enggak melakukan kegiatan apa-apa.
Pertanyaan lain yang juga kerap datang adalah pernahkah saya baper?
Ehm, jujur, di tahun awal menikah, saya belum mengenal rasa itu. Toh, kami memang sengaja menunda punya anak. Masalah baper barulah saya rasakan di tahun ke-4 pernikahan. Meski di luar tidak mau menampakkannya, tapi iya... di dalam kepikiran. Kita gitu, kan. 🤭🤣
Apalagi kalau ada yang bilang, "Hati-hati ya, suaminya nanti nikah lagi loh kalau enggak bisa hamil,"
Saya hanya membatin, "Padahal sama-sama wanita, tapi bisa begitu, ya,"
Di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa ternyata budaya patriarki itu belum bisa sepenuhnya hilang. Salah satunya, masyarakat kerap menyalahkan wanita atas semua yang terjadi, termasuk saat pasangan suami istri yang sudah lama menikah tak juga dikaruniai anak. Sulit ternyata menghilangkan pemikiran yang sudah mengakar kuat di masyarakat, ya. Sedih rasanya.
Di sisi lain, saya bersyukur karena orang-orang terdekat selalu mendukung dan mendoakan. Mereka juga tidak mengasihani alias biasa saja.
1. Suami alias pasangan sangat santai: diamanahi anak ya Alhamdulillah, berdua aja juga enggak masalah. Persis seperti di film yg diangkat dari novel best seller berjudul "Test Pack".
2. Orang tua dan mertua yang tidak pernah bertanya kapan ngasih cucu. 🤭🤣
3. Saudara-saudara juga tidak pernah nanya kapan ngasih ponakan. 🤭
4. Teman-teman dari berbagai arah yang tak bisa saya sebutkan satu per satu benar-benar mendukung walau hanya sekadar dengan kata-kata atau kalimat-kalimat nyleneh.
Misalnya:
"Lo kalau dah jadi emak gak bakalan bisa kumpul2 kayak gini," poinnya di membesarkan hati, saya tahu, karena saat udah jadi ibu seperti sekarang pun yang dulu komennya begitu berubah jadi, "Nikmati masa2 Lo jadi emak sebelom anak Lo punya kehidupan sendiri dan Lo nangis2 kejer jejeritan".
"Gw tau kok. Lo dulu menunda punya anak bukan karena Lo ga suka anak2, tp karena Lo mau nyiapin yg terbaik bwt anak Lo. Gausah nyalahin diri sendiri apalagi sampai bawa2 karma. Kan Lo ga ngerugiin siapa2. Justru kalau Lo dulu langsung punya anak, tp kalau kelakuan Lo masih kayak bocah labil, Lo nyakitin anak Lo."
Mungkin bahasanya memang sebangsa gw elo end, tapi sungguh membuat hati saya ini sangat terharu dan nyess.
Tanpa dukungan orang-orang sekitar yang selalu optimis, sungguh kita enggak bakal bisa sekuat sekarang karena biar bagaimana kita adalah makhluk sosial.
Pertanyaan selanjutnya yang kerap muncul adalah bagaimana mengatasi baper saat mendengar kabar teman lahiran bertubi-tubi sementara saya saat itu satu saja belum.
Jujur, kalau saya dulu langsung to the point aja alias apa adanya, "Doain aku, ya," Alhamdulillah enggak ada masalah.
Saat tinggal di Balikpapan bahkan ada masanya hampir tiap minggu saya dan ibu-ibu seorganisasi jenguk teman yang lahiran. MasyaaAllah, semacam ujian bangett bagi hati ini. Di sisi lain, pasti saya ikut bahagia, apalagi saya sangat suka anak-anak. Tapi tak bisa dimungkiri jika sisi satunya bertanya, "Aku kapan Ya Allah?" sementara seperti yang saya sebutkan di atas punya anak adalah sebuah misteri yang kita benar-benar tidak tahu kapan datangnya.
Jika kondisi di atas Alhamdulillah bisa saya atasi, maka ada juga yang membuat melow dan saya tak bisa menahannya.
"Si ini udah tiga, kamu kapan?"
Ya, komen-komen membandingkan. Saya rasa, siapa pun tidak mau dibandingkan ya, tak hanya persoalan anak saja. :D
Bersyukur, zaman sekarang sudah banyak komunitas yang bisa kita pilih sesuai "keyakinan". Alhamdulillah, melow dan baper pun jadi enggak lama-lama. Ya, saat itu, saya juga bergabung di komunitas sesama pejuang hamil.
Saya merasa senang karena di sana kami saling mendukung dan menguatkan.
Sembari bekerja, belajar, serta berikhtiar, di masa tunggu itu pun, saya sering merenung dan bertanya pada diri sendiri mengenai hakikat menikah.
Saya pernah menuliskannya di sebuah catatan kurang lebih seperti di bawah ini:
Tujuan Menikah, Apakah Hanya untuk Mendapatkan Anak??
Sepasang kekasih yang saling mencintai menikah. Tentu ini merupakan hal yang wajar, terlebih usia keduanya sudah bisa dibilang cukup. Pekerjaan mapan & pendidikan tinggi. Kurang apa lagi? Maka tak salah bila keduanya ingin menghalalkan hubungan mereka melalui sebuah institusi bernama pernikahan.
Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan pertama mereka serasa berada di surga. Ucapan selamat pun tak henti-hentinya mereka terima baik dari sanak saudara maupun sahabat.
Bulan-bulan berikutnya, mereka mulai ditanya, “Kapan punya momongan?”. Bila momongan tak kunjung ada, maka pertanyaan selanjutnya dan mungkin agak menyakitkan adalah, “Kamu mandul ya? Makanya nggak bisa punya anak?!”
Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu tujuan menikah memang memperoleh keturunan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak pasangan yang mulai renggang ketika usia pernikahan mereka bertambah sedangkan sang buah hati belum juga ada. Sedihnya, pihak wanitalah yang lagi-lagi jadi pihak yang disalahkan seolah harus menanggung semua “aib”. Ya, masyarakat kerap menjustifikasi kalau wanita yang belum juga dikaruniai momongan atau wanita yang tidak bisa punya keturunan bukanlah wanita sempurna.
Padahal, tiap rumah tangga tentunya berbeda. Ada yang memang langsung ingin mendapatkan keturunan. Ada pula yang ingin menunda demi sesuatu. Apakah salah??
Sungguh heran, kadang orang lain yang tidak berkepentingan apa-apa seolah-olah lebih tahu dibandingkan dengan yang menjalaninya. Entah kenapa, orang-orang kadang terlalu cepat menuduh & suka ikut campur urusan orang lain.
Ada seorang suami yang tetap setia dan sabar ketika sang istri belum juga hamil. Pada saat mereka melakukan pengecekan, ternyata kesalahan tidak terletak pada sang istri, melainkan suami?! Masihkah masyarakat menuduh dengan hina kepada pihak wanita ketika tidak bisa hamil juga?
Ada pula sebuah keluarga yang memang belum ingin memiliki momongan dengan alasan ingin fokus pada karier dan studi. Apakah kita berhak mencampuri urusan mereka dengan bertanya yang seolah-olah menyalahkan? Padahal mereka yang menjalani dan mereka yang merasakan.
Setiap keluarga memiliki kondisi yang berbeda-beda dan kita tidak bisa dengan seenaknya sendiri menyamakannya. Tentu hal tersebut bukanlah sebuah tindakan yang bijak.
Pernikahan, sesungguhnya tak hanya untuk memiliki keturunan. Ehm… percaya sangat percaya bahwa cinta sejati itu masih ada. Masih ada seorang istri yang sangat mencintai suaminya dengan tulus, apa pun kondisi suaminya, begitu pula sebaliknya. Percayalah, itu masih ada.
Tulisan tersebut saya buat 10 tahun yang lalu. 😊
Saya juga masih ingat, kala itu, saya pernah baca novel berjudul TEST PACK. Ada beberapa poin di novel tsb yang membuat hati saya tersentuh:
1. Istri membuktikan cintany ke suami salah satuny dg ingin memberi anak. "Aku pengin ngasih kamu anak karena cinta sm kamu"
Sementara....
Suami membuktikan cintany ke istri dengan menerima apa adanya dia, bagaimana pun kondisiny. "Ngapain sih stres mikirin kapan punya anak? Ada atau enggak ada, aku tetap dan selalu cinta sama kamu, titik,"
2. Saat pasangan suami istri di novel tersebut bertengkar masalah anak:
Istri: Justru karena aku cinta sama kamu makanya aku pengin jadi ibu dari anak-anakmu!
Suami: Dan justru karena aku cinta sama kamu, aku gak peduli kamu bisa ngasih anak ke aku atau enggak!
3. Pertengkaran mereka yang lain terkait anak:
Istri: Kenapa sih kita selalu berdebat hal yang sama
Suami: Karena kamu tuh keras kepala
Istri: Emang kamu enggak?
Suami: Kenapa kamu selalu membahas anak anak anak dan anak
Istri: Gue cinta sama Lo tau nggak
Suami: Gue juga makany gue gak mau bahas sesuatu yang bikin Lo gak nyaman
Semoga yang saat ini sedang berjuang menjadi ibu atau bahkan berjuang mencari calon bapak/ibunya anak-anak diberi kemudahan, ya. Aamiin ya Rabb.🤲🏻
(11.12 WITA, Manado, di sekolah anak sembari nunggu dia pulang)
0 comments
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)