Menyambangi Selecta Sebelum dan Sesudah Ada Pandemi
"Mas, ke Selecta, yuk. Sebelum ke Jepang kan kita ke Selecta cem pamitan gitu. Nah, sekarang dah pulang, kita harus ngabari," kataku pada suami awal April kemarin, ketika kami sudah di Malang.
Suamiku jelas meng-iya-kan karena dia juga sangat suka dengan alam terbuka, apalagi hawanya sejuk.
"Hu'um, itung-itung tombo kangen sama Tsukuba," tambahnya. Ciee yang masih belum bisa move-on. :D Ya, suasana di Selecta rada mirip Tsukuba saat musim panas. Jadi, kata-kata suamiku memang enggak salah.
Selecta sudah menjadi salah satu tempat refreshing favorit kami sejak awal nikah 13 tahun yang lalu. Buatku pribadi, tempat wisata yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini memiliki makna khusus di hati. Emakku alias ibukku berasal dari sana. Ya, beliau lahir dan tumbuh di Selecta. Saat remaja, Ibu bahkan sempat berjualan apel di pasarnya. Dari sanalah, beliau ketemu bapakku yang saat itu sedang jalan-jalan bersama teman kerjanya. Bapak beli apel di ibukku. Persis seperti kisah FTV, sejak pertemuan itu, bapakku jatuh hati. Beliau kemudian mengirim surat ke ibuku dan langsung to the point mengajak nikah. Jadi, bagiku, Selecta tidak hanya tempat wisata biasa, melainkan juga seperti tempat "pulang" kedua. Tempatku mengenang kisah manis bapak dan ibu yang pertemuannya ternyata cukup romantis. Setidaknya menurutku. LOL.
Itu sebabnya, tidaklah heran, saat sudah berada di tanah air, Selecta menjadi salah satu tempat yang wajib aku kunjungi.
Oh iya, alasan lain yang enggak ada hubungannya dengan perasaan yang kurasa wajib kutuliskan di sini kenapa kok Selecta jadi tempat favorit adalah... tiket masuknya murah, cyin. Enggak perlu bayar ratusan ribuu hanya untuk satu orang. Tiketnya sendiri bisa dibeli on the spot.
Menyambangi Selecta sebelum dan sesudah ada pandemi tentu saja memiliki perbedaan berarti, bahkan bisa dibilang 180 derajat.
Tidak tahu kalau saat ini seperti apa, ya. Bisa jadi, sudah mulai ramai atau mungkin masih sepi. Tapi, yang aku lihat April kemarin saat ke sana seperti beberapa gambar di bawah ini. Aku share foto saat ke sana 2019 dan 2021, ya.
Sebelum pandemi: Taka (yang saat itu masih 2 tahun) tak perlu pakai masker. |
Setelah ada pandemi: Taka (yang saat ke sana belum genap 4 tahun) harus pakai masker dan menerapkan prokes. Bersyukur, anaknya paham. Sejak di Jepang, doski sudah pakai masker jika berkegiatan di luar sekalipun itu cuma ke konbini yang jaraknya hanya sekitar 300 meter saja dari dormitory. |
Sebelum pandemi: terlihat ada pengunjung. Aslinya jauh lebih ramai hanya saja tidak aku foto. |
Setelah ada pandemi: sepi. Saat aku ke sana, pengunjung bisa dihitung jari. Beberapa arena permainan pun ditutup. |
Sebelum pandemi: orang-orang harus "berbagi" saat menikmati keindahan yang terpampang nyata di depan mata. |
Pengunjung mungkin bisa lebih bebas menikmati keindahan alam, tapi jujur... ada rasa sedih di hati. |
Sebelum pandemi: terlihat di ujung sana, pengunjung antre untuk menggunakan salah satu wahana. |
Setelah ada pandemi: wahana sepi, beberapa memang sengaja ditutup. |
Sebelum pandemi: semua berbahagia. |
Setelah ada pandemi: jujur, ada rasa sedih di hati karena normalnya keindahan harusnya bisa dinikmati sekaligus dirawat bersama. |
Menyambangi Selecta sebelum dan sesudah ada pandemi seolah mengingatkanku lagi bahwa dunia dipenuhi ketidakpastian. Sebagai manusia, kita hanya bisa memprediksi. Tapi untuk memastikan, tentu tidak punya kuasa. Saat ke sana 2019 silam untuk "pamitan", aku tak pernah menyangka jika dua tahun kemudian kondisi akan berubah.
Menyambangi Selecta sebelum dan sesudah ada pandemi juga membuatku tak lelah menyematkan doa serta harapan. Mengingat efek dominonya yang begitu besar, semoga saja kondisi segera membaik. Aamiin.
0 comments
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)