Hari Ke-14 di Jepang: Ngurus Sim Card dan (atau) HaPe yang Prosedurnya seperti Orang Mau Nikah
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 14, 2020
Dini hari tadi gempa (lagi). Beda dengan sebelumnya, tanggal 2 kemarin, gempa kali ini cukup bikin aku deg-degan. Kalau sebelumny pas gempa kulangsung narik selimut alias tidur lagi padahal masih baru kemarin sampai Jepang, dini hari tadi aku sempat mau ke luar padahal udah hampir dua minggu di sini. Xixixi. Anomali banget.
Paginy suami cerita kalau sempat ada peringatan cuma diany yang enggak engeuh. Ya alhamdulillahnya bangunan di mari dirancang bisa menyesuaikan diri dengan gempa.
Hari ini, aku enggak ke mana-mana karena kemarin udah seharian mengeksplore Minato-ku dan Akiba. Suami juga ada kuliah. Bocil juga terlihat masih pegel karena maren jalan kaki cukup jauh. Mangat, Le.
Itu sebabny, aku putuskan hari ni menceritakan sebagian kegiatan kemarin coz menceritakan kegiatan hari ini juga enggak ada yang wow. Mau cerita tentang salah satu kegiatan yang harusnya Taka ikuti sore ini, yaitu TPA, enggak jadi karena senseiny sedang sakit. Semoga cepat sembuh. Aamiin. Yaweslah ya cerita kejadian kemarin aja.
Kali ini aku mau berbagi kabar tentang hape & sim card, lebih-lebih sim card yang belinya enggak semudah di tanah air.
Yes, maren aku akhirnya beli sim card Jepun di Akiba. Sebenerny di Tsukuba juga bisa, di mall IASS. Tapi, kemarin tuh sekalian aja maen & jalan-jalan sama bocil mumpung ayahny libur kuliah (hari perayaan apa gitu lupa). Jadi yawes bertiga cuzz.
Aku buktiin sendiri bahwaaa dunia perhapean di marii bener-bener woww detail n telitiny. Perfeksionis dah. Wkkk. Sebelumny, aku dah pernah baca tentang ini di bukuny Mb Nurul Asmayani. Dan maren aku buktikan sendiri emang riwuehh.
Awalnya, aku enggak berniat beli nomer baru. Tapi setelah melihat beberapa pertimbangan di bawah ini, akhirny atas saran ayahny bocil juga, aku beli nomor Jepang.
Apa aja pertimbanganny?
Pertama:
Kalau enggak punya nomor sini berarti enggak bisa beli paket data dunk yang itu artiny enggak bisa ngenet kalau g pas ada wifi gretongan. Yekan.
Kedua:
Wifi gratisan melimpah adany di dormitory (dengan kecepatan maksimal), sekitaran kampus, stasiun, intiny sebenarnya hampir di semua tempat umum, tapi kita jadi gantungin banget.
Ketiga:
Keberadaan internet adalah sebuah keniscayaan buat komunikasi sama liat gmaps. Yang terakhir penting bgts sebagai perantauu. Yaa seenggaknya buatku.
Keempat:
Karena ketiga alasan di atas itulah aku jadi gak bisa pergi sendiri sama bocah yang sifatnya rada jauh atau bahkan jauh, misal ke Tokyo, Akiba, Asakusa, atau Tsukuba Senta. Nape? Kata lakik jangan dulu sendirian ke mana-mana kalau masih andelin wifi gretongan. Xixixi. Jadiny ke mana-mana sendiri yaa baruu kalau pas jogging dan ke konbini aj wkkkk. Eh... seputaran kampus juga ding.
Emang segitu pentingny yes ke mana-mana sendiri? Penting... wong suami izinin (kalau dah ada paket data yang it means dah punya nomor sini). Napa segitu pentingnya? Ya karena gak mungkin juga kan aku apa-apa masry alias dikit-dikit suami kalau dia sibuk dengan urusan kuliahny. Yekan y.
Makaa, dari beragam alasan tadi akhirnya kami putuskan buat beli nomor sini. Kalau suami dah duluan sih sejak September taun lalu.
Proses punya nomor Jepun tuh ibarat orang mau nikah, ribet. Wkk. Jadi buat teman-teman yang mau jalan-jalan ke sini mending pakai wifi portable atau kalau sabar ya memasrahkan jiwa raga pada wifi gratisan.
Emang prosesnya gimana?
Aku beli sim card di salah satu toko elektronik di Akiba. Ni toko sih katanya punya reputasi yang baguss dan... dikenal banyak memberi diskon. Huehehe. Teteupp emak-emak mahh ekonomis praktis dan solutif ya.
Untuk beli sim card baru, akuu harus menunjukkan: resident card alias ktp sini (yang udah dikasih di imigrasi saat aku baru datang ke sini) dan kartu kredit. Yes, kartu kredit bukan debit y, bukan juga tunai. Pokoknya kartu kredit. Nama kartu kredit dan resident card pun harus sama. Jadi kalau resident cardny an. aku, maka CC nya pun harus namaku juga.
Di sinilah masalah bermula.
Aku enggak punya CC alias credit card alias kartu kredit. Yeahh... di dunia yang seluas ini, di zaman yang secanggih ini, masih ada lhoh ternyata orang "kuno" yang muaalesssnyaa minta ampun (meski ditawarin sampai ditelponin) buat punya kartu kredit. Di kami, yang punya suamiku aja. Itu pun kami anggapnya sebagai "kartu debit" biar enggak sembrono. Mamak akuntansi y gini. Sejauh ini alhamdulillah terkendali dan aman (semoga sampai nanti aamiin). Biasanya, kartu tsb kami buat beli tiket, ngebantu banget.
Nahh, karena aku enggak punya kartu kredit, proses pun enggak bisa dilanjutkan.
Masalah lain adalah bahasa. Mamase enggak terlalu bisa bahasa Inggris. Opsi untuk menggunakan gugel translet juga sengaja enggak kami pilih. We tried to "translate" his gesture aja. Kembali ke fitrah di mana semua manusia sejatiny bisa saling komunikasi hanya dengan melihat gerak-gerik lawan bicara. Yaa kalau dari bahasa tubuhny sih mamase baik dan ramah juga berusaha to the max buat membantu alias enggak ditinggal pergi gitu aja.
Akhirnya, diputuskanlah suamiku yang beli nomor lagi atas nama dia, tapi nanti yang pakai aku. Kalau seperti itu, satu orang punya dua nomor, enggak apa-apa. Dengan demikian beress baik resident card maupun credit card, nama yang dipakai sama.
Kenapa sih ribet bangett? Yaa... karena nama kita nanti akan terdata. Enggak akan ada kejadian mamamintapulsa karena sekali saja melakukan hal aneh-aneh pasti akan langsung terdeteksi. Intiny, hal-hal riweh tsb untuk melindungi mereka yang tinggal di Jepang.
Suamiku sempat ditanya karena alamat yang udah tercatat pas dia beli sim card September tahun lalu dengan alamat sekarang beda. Segitunya? Hu'um biar jelass. Suamiku menjelaskan kalau September tahun lalu dia masih tinggal di single dormitory sedangkan sekarang di couple dormi. Cuma beda gedung aja. Ketika sudah jelas, permintaan baru bisa diproses.
Sebenarnya selain cuma beli sim card, kita yang baru tinggal di Jepang juga bisa sekalian beli HP. Harganya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan di tanah air, apalagi kalau pas ada promo.
Bahkan kalau dipikir-pikir antara harga registrasi simcardny dengan harga HP plus registrasinya kalau dipersentase masih lebih mahalan registrasi aja.
Contohnya saja:
Registrasi simcard bayar sekitar 3000-an yen. Ya, di sini emang bayar.
Harga HP yang kalau di Indonesia 4 - 5 jutaan, di sini di bawah 2 juta. Dengan merk yang sama. Itu udah termasuk registrasi simcard-nya.
Pilihan ada di tangan kita, sih. Yakali pengin ngerasain HP Jepun.
Emang ada bedanya? Adaa.
1. Kalau kita ambil foto/bikin video, HP-nya akan bunyi cekrek. Jadi kalau di tempat umum, orang lain pasti akan menyadari kalau ada yang sedang ambil foto/mungkin video. Dengan cara seperti ini, enggak ada lagi ambil foto diam-diam. Lagi-lagi untuk memproteksi dan saling menjaga privasi.
2. Colokannya bedaa.
Colokan listrik di sini beda dengan di Indonesia. Dokpri. |
Gimana? Yaa, terserahlah, ya. Huehehe.
Setelah beli nomer Jepang, selanjutny adalah beli paket data. Tarifnya lebih mahal kalau dibandingkan dengan di tanah air. Jadi yaa mesti bijak menggunakannya.
Dan Alhamdulillah, setelah proses yang berliku, akhirnya aku resmi menggunakan nomor Jepang. Bisa jalan-jalan sendiri (sama bocah) & bisa ngabarin ayahnya Taka kapan aja tanpa harus nyari tebengan wifi gratis wkkk.
Oh iya bagi teman-teman yang bertanya, nomor Indonesiaku masih aktif kok. Nanti juga bakal dipakai lagi. See you on the next post. Maaf ya kalau minim gambar. semoga postingan selanjutnya seimbang. 😘
14 comments
Mas Lukman beli iphone 8 kemarin di Jepang. Klo di Indonesia beda 5 juta tp ya itu hapenya bunyi klo motret wkwkwk
ReplyDeleteWuihh bedany mayan jg y mb ckckck
DeleteTenyata kita tetep bisa berkomunikasi lewat gerak gerik meski gak bs bahasanya ya mba, termasuk di negeri orang gini :). Btw seru amat ini perjalanan ganti sim cardnya, tentang cerita kartu kredit bikin senyam senyum bacanya. Selamat jalan2 dengan nomor baru ya mba :))
ReplyDeleteMbak itu hapenya berarti dari pabrikannya dibikin sedemikian rupa seperti itu ya?
ReplyDeleteBener juga sih, supaya privacy terlindungi ya, orang gak asal ambil gambar orang lain tanpa ijin
Wah, segitu ribetnya ya? Tapi seru juga ya? Baca cerita Mba aku ikut deg-degan.. hehehe
ReplyDeleteribet juga ya mbaaa, tapi ini info penting juga nanti kalo aku ke Jepang (kapan ya?) hehe
ReplyDeleteUrus Sim Card ternyata mahal betul ya Mbak.
ReplyDeleteKirain tidak semahal itu.
Makasih mbak, cerita seru saya jadi tegang sendiri. Senang kalo bisa baca cerita temen indo yang tinggal di negara orang. Suka aja gitu karena bisa tau bagaimana kehidupa di negri orang. Ceritanya harus nambah loh mbak
ReplyDeleteSeru dan keren, Mbak. Memang kebijakan telekomunikasi Jepang sangat menghormati privasi ya. Kira-kira ada nggak ya yang memilih nggak punya hape kalo registrasinya ribet gitu. Hehe
ReplyDeleteSeru deh bacanya. Keren ya Jepang. Salam dari Malang mbaa. Sehat selaluu
ReplyDeleteMayan ruwet ya mbak. Padahal cuma mau beli sim card aja.
ReplyDeletePas baca paragraf pertama, aku langsung auto ikut deg-degan. Ngebayangin, kalau di Indonesia pasti udah heboh banget ya mba kalau gempa, hoho.
ReplyDeleteBtw, kocak sih mba ceritanya, aku jadi ngakak sendiri hahaa. Sambil bikin list, nanti kalau ke Jepang (aamiin), kayaknya kudu siap-siap nandain sumber wifi nih ada dimana aja wkwkkw.
Mba pengalaman d Jepun nya seru banget sihhhh, dan ternyata cukup effort banget ya buat bisa inetan disini tuh. Ngurusnya itu bikin mumet, jd inget pas ngurus berkas nikahan wkwk
ReplyDeleteWah, seru juga ya pengalaman membeli simcar di Jepang, ya mbak? Jadi menambah pengetahuan, nih...
ReplyDeleteMakasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)