Hari ke-11: Jepang, Surga bagi Kamu yang Introver
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 11, 2020
Saya memang belum lama tinggal di Jepang, baru sebelas hari. Kalau dari
sisi orang traveling, ini termasuk laamaa. Sebaliknya kalau dari sisi
pendatang, ini belum apa-apa. Bab satu aja belum, ibaratnya. Jadi emang
tergantung gimana melihatnya.
Namun, dari durasi yang masih belum lama itu ditambah mengingat apa yang sudah saya baca dan lihat melalui dorama, kesan pertama saya terhadap negaranya Takeshi Kaneshiro ini adalah... Jepang cucok meong buat mereka yang introver. SURGA!!
Risih dengan pertanyaan:
- kapan nikah?
- kapan punya anak?
- kapan nambah lagi?
- kapan...
Namun, dari durasi yang masih belum lama itu ditambah mengingat apa yang sudah saya baca dan lihat melalui dorama, kesan pertama saya terhadap negaranya Takeshi Kaneshiro ini adalah... Jepang cucok meong buat mereka yang introver. SURGA!!
Risih dengan pertanyaan:
- kapan nikah?
- kapan punya anak?
- kapan nambah lagi?
- kapan...
atau sumpek dengan pernyataan:
- kok belum nikah?
- kok belum punya anak?
- kok anaknya cowok semua?
- kok anaknya cewek semua?
- kok cuma jadi ibu rumah tangga?
- kok tega ninggalin anak?
- pakai KB apa?
- kok suaminy lembur mulu?
- kok LDM?
- kok...
- kok belum nikah?
- kok belum punya anak?
- kok anaknya cowok semua?
- kok anaknya cewek semua?
- kok cuma jadi ibu rumah tangga?
- kok tega ninggalin anak?
- pakai KB apa?
- kok suaminy lembur mulu?
- kok LDM?
- kok...
pindah ke sini aja. Kagak ada yang peduli kita mau gimana. 🤣😆
Entah, meski belum lama mengenal, tapi kesan pertama saya adalah... di sini privasi alias ruang pribadi begitu dijunjung tinggi. Yaa, yang penting enggak ganggu atau merugikan orang lain. Itu aja sih poinnya.
Bagi mereka yang kebutuhan akan ruang untuk diri sendiri begitu tinggi, bukan ansos loh ya, pertanyaan atau pernyataan yang sifatnya pribadi banget itu kadang bisa bikin ehem... anu... entahlah. Padahal, statement tersebut begitu lumrah kita jumpai di tanah air karena memang kulturnya dianggap bentuk kepedulian, rasa hangat, dan keakraban. Faktanya, enggak semua orang nyaman. Yang baca postingan ini sambil senyum-senyum salah satunya.
Laluuu, apa dasar saya bilang bahwa Jepang adalah surga bagi mereka yang introver? Ya, meski ini hanyalah sekadar opini pribadi, tapi teteup ada dasarnyalah ya hingga bisa berkesimpulan seperti itu.
Entah, meski belum lama mengenal, tapi kesan pertama saya adalah... di sini privasi alias ruang pribadi begitu dijunjung tinggi. Yaa, yang penting enggak ganggu atau merugikan orang lain. Itu aja sih poinnya.
Bagi mereka yang kebutuhan akan ruang untuk diri sendiri begitu tinggi, bukan ansos loh ya, pertanyaan atau pernyataan yang sifatnya pribadi banget itu kadang bisa bikin ehem... anu... entahlah. Padahal, statement tersebut begitu lumrah kita jumpai di tanah air karena memang kulturnya dianggap bentuk kepedulian, rasa hangat, dan keakraban. Faktanya, enggak semua orang nyaman. Yang baca postingan ini sambil senyum-senyum salah satunya.
Laluuu, apa dasar saya bilang bahwa Jepang adalah surga bagi mereka yang introver? Ya, meski ini hanyalah sekadar opini pribadi, tapi teteup ada dasarnyalah ya hingga bisa berkesimpulan seperti itu.
Sebelum membahas lebih lanjut, kita harus paham dulu pengertian introver. Selama ini, orang-orang lebih sering menganggap karakter tersebut identik dengan sifat pemalu, suka menyendiri, kelam, sepi, dan semacamnya. Padahal, enggak! Bahkan, orang yang sering bersosialisasi atau tampil di depan umum pun, bisa jadi ia sebenarnya introver. Saya pernah membahasnya lebih lanjut di postingan ini. Silakan dibaca sendiri, ya. Semoga tidak salah paham lagi. Hehe.
Lalu, mengapa kemudian Jepang saya anggap cocok bahkan surga buat mereka yang introver, beberapa alasan saya adalah seperti ini:
1. Apa-apa mesin, at least mengharuskan kita untuk mandiri. Bila pun enggak mesin, petunjuk hampir di semua hal dibuat sejelas mungkin sehingga meminimalisir kita bertanya ke manusia. LOL.
Beli sendiri, hitung sendiri, dan bayar belanjaan sendiri. Foto: dokumentasi pribadi. |
Enggak perlu tukang parkir, semua serba otomatis, termasuk parkir sepeda pancal. Foto: dokumentasi pribadi. |
Mengisi PASMO untuk naik bus atau kereta di mesin otomatis. Foto: dokumentasi pribadi. |
Vending mesin di mana-mana. Foto: dokumentasi pribadi. |
2. Sopan bangett, termasuk dalam berbicara, lebih-lebih ke orang yang belum/baru dikenal, sebisa mungkin tidak menyinggung. Entah, ya. Yang saya rasakan sih gini. Masih teringat jelas bagaimana ibu-ibu Jepang ngobrol dengan orang asing (saya) di City Hall beberapa waktu yang lalu. Dari intonasi, gaya, dan semuanya benar-benar terlihat kalau sangat hati-hati, enggak ceplas-ceplos. Kentara sekali kalau mereka sangat menjaga perasaan ke orang yang baru dikenal atau ditemui. Pun saat enggak sengaja ketemu teman suami di Tsukuba Senta. Sopaannn bangett. Jadi sungkan sendiri. Xixixi.
3. Bertemu teman biasa aja, tidak harus cipika cipiki dan peluk. Ya, sedikit berbeda dengan budaya kita yang ramaiii banget kalau ketemu teman, saya pun, di sini setidaknya sampai detik ini belum pernah ada pemandangan seperti itu. Bertemu teman ya biasa aja, enggak cubit sana sini peluk sana sini atau cipika cipiki. Ini maksudnya teman sejenis lhoh, ya. Beda banget ya sama kita yang kalau ketemu teman cenderung heboh, kecuali emang enggak akrab-akrab banget.
4. Hiduplah "semaumu" selama enggak mengganggu keseimbangan dan perdamaian dunia. Bukan berarti bisa seenak jidat, tapi poinnya di sini adalah terserah kita mau gimana enggak akan ada yang peduli. Yang penting kita enggak berbuat onar. Sesederhana itu.
Lalu lalang orang di Akihabara. Semua saling menghormati privasi. Foto: dokumentasi pribadi. |
Di dekat Stasiun Tokyo sehari setelah tahun baru, semua rapi meski ramai. Foto: dokpri. |
5. Mengutamakan orang lain, enggak dominan
Entah nanti akan seperti apa. Tapi setidaknya hingga saat ini, yang saya rasakan ya seperti ini. Saat mengantre, mereka benar-benar rapiii, enggak mau main serobot. Bahkan, yang saya alami, mereka cenderung mempersilakan emak-emak untuk melangkah lebih dulu. Saat pertama kali ke City Hall untuk lapor sebagai warga baru, mereka sigap membantu saat saya tolah-toleh bingung. Enggak jumawa karena merasa pegawai anu, ini, itu. Salutt.
Saya tahu, setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Setiap orang juga punya karakternya sendiri. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud apa-apa selain hanya berbagi opini saja. Bagi ekstrover yang sangattt ramaii dan heboh, tempat dimana privasi begitu dijunjung tinggi mungkin enggak cocok. Atau bagi mereka yang lebih suka ceplas-ceplos, mungkin budaya enggak enakan juga enggak sesuai. Sebaliknya, bagi introver yang sangat lekat dengan hal-hal yang sudah saya sebutkan di atas, tempat seperti di sini mungkin cocok. Pada akhirnya, semua kembali ke masalah selera. Enggak ada yang lebih baik atau gimana. Cuma masalah taste and preference saja yang pasti tiap orang berbeda.. Begitulah.
Selamat menjelajahi dunia ya, Temans!
0 comments
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)