Hari Ke-28 di Jepang: Kehidupan sebagai Minoritas (Muslim) di Negeri Sakura
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 28, 2020
Salah satu hal yang sering ditanyakan teman-temanku adalah bagaimana kehidupanku sebagai muslim di Jepang yang notabene minoritas. Meski sebenarnya terlalu dini jika aku cerita hal ini mungkin ya, tapi seenggaknya aku bisa berbagi yang aku alami selama hampir sebulan ini.
Jujur, sebelum berangkat ke Jepang pun sebenarnya aku udah kepo sana sini ke teman-teman yang pernah tinggal di negaranya Chiaki Senpai (siapa lagi tuh Mi, bukan mantan, tuh yang di droama Nodame Cantabile wkk). Dari hasil pengumpulan data secara random itu bisa kusimpulkan kalauu Jepang ramah muslim. Pun berdasarkan penuturan suami yang udah lebih dulu di sini.
Namun biar gimana, tentu rasanya beda ya antara "katanya" dengan benar-benar mengalami sendiri. Meski awalnya sempat ada rasa khawatir biar gimana, namun aku tepis dengan meyakinkan ke diri sendiri, "Di tanah air aku gak pernah jahatin minoritas kok alias gak berminat buat usil/mengusik alias biasa-biasa aja. Jadi in syaa Allah, di tempat dimana aku akan jadi minoritas nanti, aku aman. Pada dasarnya, semua buminya Allah, bukan? Bismillah aja."
Faktanya?? Yang aku alami? Alhamdulillah, aku bisa beribadah dengan tenang dan nyaman.
Enggak puas dengan pengalaman yang baru akan sebulan, aku "mewawancarai" katakanlah seorang adek asal Indonesia yang kukenal di perkumpulan muslim. Dia di sini sejak SMA lanjut S1, udah sejak 2014. Lumayan sangat sangat bisa merasakanlah ya gimana jadi minoritas.
Dan, menurut pengakuannya? Alhamdulillah baik-baik juga, sama sekali enggak ada masalah. Malah pas orang tuanya yang sempat didinaskan di Tokyo pindah dinas lagi ke tanah air, si adek ini enggak mau ikut balik dan tetap pilih tinggal di Jepang meski jauh dari keluarga.
Mungkin pengalaman serta pendapat tiap orang beda-beda, ya. Cuma sejauh ini aku sepakat sama mereka. Selama hampir sebulan ini seenggaknya perlakuan yang aku terima di tempat umum baikk. Mereka juga cuek dengan "penampakan" orang lain selama enggak ganggu.
Namun, biar gimana memang enggak bisa dimungkiri bahwa sebagai kaum minoritas, tantangan itu pasti ada. Tapi kalau buatku bukan masalah perlakukan, bukaan, tapi lebih ke hal-hal teknis, misalnya:
1. Enggak ada azan.
Jelasss. Selama hampir sebulan di sini, aku baru dengar azan secara nyata (enggak di youtube) ya hari Minggu kemarin itu pas menghadiri perkumpulan keluarga muslim di Masjid Tsukuba. Kalau suamiku lebih sering dengar secara nyata karena kan laki-laki memang lebih sering ke masjid, ya. Kalau aku ya benar-benar baru kemarin itu.
2. Masjid cuma satu.
Lokasinya sekitar 2,5 km dari dormitory. Untuk ke sana kalau naik bus rada susah aksesnya, jadi ya pakai sepeda pancal.
Masjid Tsukuba, dokpri. |
Pertama kalinya Taka naik sepeda ke Masjid Tskuba. Sukaaa. Foto: dokpri. |
Yess, berkali-kali aku diingatkan suami biar teliti dan hati-hati kalau beli bumbu, jajanan, atau semacamnya. Meski buatku pribadi, di sini lumayan banyak makanan halal. Ya walau enggak sebanyak di tanah air. Tapi maksudku untuk ukuran negara dengan muslim sebagai minoritas, di sini termasuk lumayan kok.
Misaal: ada semacam warung eh sejenis indomaret kali ya yang jual produk berlabel halal, di swalayan juga ada beberapa produk yang berlabel halal, teruss di toko barang-barang impor malah ada indomiee (selerakuu) 🤣. Apalagi, yaa. Eh iyaa, di kampus suami juga ada kafe yang jual makanan halal. Yahh, intinya lumayanlah.
Indomie... selerakuuu di Jupiter, dokpri. |
Es krim halal di depan pintu masuk Tokyo Tower, dokpri. |
Ramen dan tempura halal di Asakusa, dokpri |
Mie instan halal produk Thailand harganya lebih murah dari Indomie xixixi, dokpri |
Sebagai generasi micin, aku tuh girang bangett nemuin ini, xixixi. Foto: dokpri. |
Foto: suami |
Untuk belajar mengajinya anak, di dekat dormitoryku ini juga adaa, tinggal jalan kaki aja atau kalau manja bisa naik sepeda. Alhamdulillah.
Perkumpulan muslim orang Indonesia di Tsukuba, adaa. Nahh, di sini aku banyak dapat info tentang makanan halal, alhamdulillah bangett. Apalagi buat yang udah lama tinggal, mereka lumayan sering share ini itu yang sangat membantu kehidupanku sebagai muslim.
Jadi intinya apa? Aman jaya, bruh & sist. Alhamdulillah. Seenggaknya, sampai detik ini belum ada juga komentar-komentar yang membuatku tersinggung sebagai muslim. Yang hal tersebut justru pernah aku alami di tanah air, misal pernah dianggap kayak semacam terbelakang bangett cuma karena jilbaban. Wes enggak usah diingat-ingat, Mi. Okaii, stop. Hehehe. Memang semua itu hal yang harus dilewati untuk menjadi wanita perkasa (curcol mbake wkk).
Kita semua tahu kok kalau orang baik itu ada di mana-mana. Cuma mungkin kurang terekspos. Yang terpampang nyata di media sosial mungkin yang rada horror atau bikin kita berpikir macam-macam.
Untuk ke depannya semoga ada hal-hal baik lainnya yang bisa kupelajari selama di sini. Aku juga berdoa semoga semuanya baik yang di tanah air maupun di sini atau di mana pun, semuanya sehat-sehat sehingga bisa beribadah dengan aman dan nyaman. Aamiin.