(Cerbung) Budaya Patriarki: Enggak Mau Nikah
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - January 24, 2019
"Kapan kamu ngasih simbok mantu. Inget usiamu, Nduk. Ponaanmu aja sekarang udah 17 tahun,"
Mana mungkin aku lupakan kata-kata simbok yang entah keberapa juta kali. Rasanya, semua pencapaianku jadi pegawai teladan, naik jabatan, dan yang serupa ndak ada artinya di mata simbokku hanya karena aku belum bisa memberi beliau mantu, apalagi cucu.
"Orang-orang kampung, Nduk. Mulutnya itu lhoh. Simbok ndak kuat lama-lama dengar ocehan mereka,"
Ah, Simbok, betapa pengin kujelasin pada beliau kalau orang-orang emang selalu nanyain yang enggak ada. Tapi, urung aku lakukan. Meski kini aku sudah berubah 180 derajat bukan lagi Tami si gadis kampung. Meski karierku melesat hanya dalam waktu 10 tahun. Meski ke luar negeri bukan hal yang istimewa lagi. Dan meski pergaulanku golongan orang-orang hebat. Tapi, toh aku tetap anaknya simbok. Apa yang beliau katakan PANTANG aku bantah meski ndak setuju.
"Nggih, Mbok. Pangestunipun," hanya itu yang biasanya keluar dari mulutku.
"Njih, Mbok. Ngapunten," atau ini.
"Woi, ngelamun aja. Besok, ya!"
Pikiranku yang ke mana-mana bersama lamunan berhenti seketika saat pacarku (entah yang keberapa, aku lupa saking seringnya gonta ganti) yang notabene teman kerjaku beda bagian muncul di hadapanku, meja kerjaku. Sebenarnya, aku enggak cinta-cinta amat. Ya, sejauh ini dia belum pernah menyinggung perasaanku, harga diriku. Itu aja, sih.
"Nggak jadi ya, Dan. Banyak kerjaan," jawabku singkat, dingin, sok enggak butuh (ya padahal emang enggak butuh).
"Yaelah, Mi. Kerjaan kalau diturutin ya emang enggak habis-habis," bantah laki-laki yang banyak fansnya, terutama dedek-dedek magang yang haus kasih sayang, ini.
"Lagian enggak usahlah terlalu ngoyo. Kamu kan cewek. Ntar kalau kita dah nikah juga ngurusin rumah,"
JLEB!
Baru juga kupuji-puji selama ini dia enggak pernah nyinggung sisi kewanitaanku, harga diriku, ehh dah nunjukkin sifat aslinya. Baguslah. Daripada ketahuannya pas udah nikah. Eh, tapi siapa juga sih yang mau nikah. Pacaran, yes. Nikah, no. Okelah, berhubung dia udah nunjukkin pikiran kolotnya, selanjutny tinggal nyari waktu yang tepat aja buat mutusin. Beres. Semudah itu.
"Sama anak magang aja, Dan. Kan banyak tuh yang ngefans, pilih aja satu,"
"Tapi aku penginnya sama kamu,"
Basi, Dan. Aku bukan cewek BODOH.
"Nanti kukabari lagi lewat WA, ya. Ngerjain dulu ya, Dan. Nanggung," usirku halus.
Ngabarin lewat WA? Sesungguhnya, aku hanya mengulur waktu aja.
Laki-laki selalu dianggap istimewa daam budaya patriarki. Dan, di kita, meski udah mending, tapi sisa-sisa itu masih ada. Sisa-sisa pemikiran bahwa wanita adalah warga kelas dua. Aku BENCI.
"Kenapa istri harus nurut sama suami, Mbok? Kenapa ada ungkapan istri itu suargo nunut neroko katut?" tanyaku pada simbok saat ulang tahunku yang ke-30 tiga tahun yang lalu.
"Emang gitu, Nduk. Wes, Nduk. Kalau kamu gini terus ndak ada laki-laki yang mau. Semua pada takut,"
"Nggih, Mbok," jawabku kemudian, ndak mau membantah.
Kalau saja enggak mikirin perasaan simbok, wanita supersabar dan nriman di muka bumi ini, aku enggak akan pernah mau mikirin NIKAH. Selama budaya patriarki belum diberangus, aku nggak bakal mau jadi istri. Nggak mau.
Mendingan, pacaran aja. Selama ini begitu. Simbok ndak usah khawatir, meski pacarku banyak, maksudnya ganti-ganti, tapi tak kubiarkan mereka semua mengambil sesuatu yang sangat berharga dariku. Ya, di usiaku yang ke-33 dengan sejarah pacaran sejak awal kerja sampai sekarang yang beragam, aku masih PERAWAN. Ini juga salah satu penyebab putus. Mereka ngajak pergi berdua ke daerah sepi macam puncak. Aku enggak mau. Mereka kesal. Aku putusin. Siklusnya bisanya gitu. Seperti Dani tadi, misalnya.
Benci laki-laki sih benci laki-laki. Balas dendam ke mereka ya balas dendam aja. Tapii, tidak dengan ngancurin diri sendiri, kan. Tidak juga dengan ngancurin hidup wanita lain dengan jadi pelakor. Yups. Aku sangat bangga dengan "prestasi" ini. Andai simbok tahu anak beliau ini bagaimana. Andai juga simbok tahu kenapa anak beliau ini benci nikah, benci laki-laki. Andai....
(Bersambung)
26 comments
Andai apa mba? kupenasaraaaaan wkwkk, duh enggak nih begini nih. Asa enggak plong heu wkwk. ditunggu cerita selanjutnya mbaaaaaa, kyaa jangan buat aku deg2an nunggu kelanjutannya wkwkkw.
ReplyDeletePenasarannnnnn, cerpennya lumayan singkat, Mba. Diperpanjang lagi dong dan jangan lupa tag me kalau udah ada sambungannya.
ReplyDeletePertama kalinya bertandang kesini dan disuguhi cerbung yang ampun-ampunan bikin penasaran. Bagaimana kalau aku cari di seisi rumah ini cerita sebelumnya dan lanjutannya ada di mana? Hehehe ... Salam kenal ya, Mbak Miyosi ....
ReplyDeleteAndai apa ya...bagus nih, ditunggu ya osy cerita lanjutannya.
ReplyDeleteAndai apa ya...bagus nih, ditunggu ya osy cerita lanjutannya.
ReplyDeletehadeuh mbak, sambungannya apa :D jadi penasaran banget
ReplyDeleteKeren banget deh, ternyata Mbak Miyosi ini multitalented banget. Salut, jago nulis fiksi juga. Saya dibuat penasaran sama kisahnya.
ReplyDeleteWaah baru tahu kalau mbak suka bikin cerbung di blog. Saran saya diberi keterangan di akhir, akan diupdate dalam berapa waktu lagi. Biar pembaca balik lagi sesuai waktu tsb
ReplyDeletepenasaran sama sambungan ceritanya mbak di tunggu ya, suka sama ceritanya.
ReplyDeletePenasaran sama sambungan ceritanya, di tunggu ya mbak 😊suka sma ceritanya
ReplyDeletePemikiran orang kampung soal usia dan nikah itu emang beda ya dengan pemikiran orang kota. Saya dulu ketika baru lulus SMA pun udah ditagih nikah sama saudara2 dari kampung, ngerasa beruntung banget tinggal di kota yang beda budaya soal pernikahan, untungnya orang tua lebih mendulukan kuliah dan kerja hehehe
ReplyDeleteKalau di kampung orang nggak mau nikah itu aneh dan dianggap aib yo mi, coba di koa besar orang bebas2 aja ga nikah, ya walaupun digosipin sih tpnya pasti ga separah yg terjadi di cerbung ini
ReplyDeleteorangtua emang gitu ya, kalo ditanya alasannya kenapa, jawabnya, ya pokoknya gini kamu harus nurut. hemesh kayak gak rasional gitu tapi dipaksa ngerti huhuhu
ReplyDeleteSi mbok harusnya dikasih sedikit clue mbak biar gak berandai-andai terus hehe. Penasaran nunggu sambungan ceritanya nih
ReplyDeleteLangsung jatuh hati dengan gaya ceritanya mbak😍 pemilihan diksinya nggak bikin bosen jadi penasaran dengan cerita selanjutnya😄
ReplyDeletewah bagus banget cerbuungnya, bikin penasaran.
ReplyDeleteTapi kayaknya kalau sekarang nggak aneh lagi ya memang umur 30 an ke atas belum nikah. Teman kerjaku ada beberapa yang belum nikah, karirnya oke.
Jadi penasaran....kapan lanjutannya nih mbak?
ReplyDeleteTokoh utamanya adalah wanita. Jadi teringat teman satu kantor, saat ini. Nggak jauh-jauh beda dengn tokoh utama ini, bahkan usianya jauh di atas usia tokoh utama. Wallahu'alam, apa sebenarnya alasan mereka menunda pernikahan atau malah memang nggak ada niat baik untuk menikah. Padahal, kalau mereka tahu, nikah itu membawa sejuta berkah.. Andai mereka tahu...
ReplyDeletePenasaran sama kelanjutaannyaa baru tahu Mbak Miyosi suka nulis fiksi juga
ReplyDeleteaku penasaran sama kelanjutannya Mbak Miyosi. Kalau udah ada sambungannya colek aku ya Mbak. jarang ada wanita masih memiliki "Prestasi" itu.
ReplyDeleteWaduh, andai apaa, Mbak..kupenasaran nih kelanjutannya...hiks. Bikin nggak bisa tidur aja :(
ReplyDeleteKenapa harus benci laki², bukankah pria adalah makhluk paling imut? wkwkwkwk...
ReplyDeleteMana lanjutannya mbak, segera bikin dong
mmm tapi ini mewakili beberapa kejadian nyata yang ada di sekitarku loh mb, dan budaya seperti ini banyak menjamur di kota besar, dengan aneka alasan.
ReplyDeleteaku penasaran lanjutannyaaaa... huhuhu... itu kenapa bisa begitu sih dia? trauma?
ReplyDeleteLanjutkan Mbak... Pengen tahu kelanjutannya. Hihihi...
ReplyDeleteTulisan bagus...syarat hikmah bagi yang pandai memungutinya😊😊
Ini kok ceritanya kayak pemikiran saya ya, Mbak. Ditunggu cerita selanjutnya, Mbak.
ReplyDeleteMakasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)