Palembang, Sepenggal Kisah tentang Cinta Sejati yang Memang Ada
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - December 28, 2018
Cinta sejati itu (ternyata) ada!
Padahal, kalau lihat kondisi zaman sekarang, kadang aku skeptis juga. Meski, suami selalu meng-IYA-kan dan meyakinkan ketika kutanya.
"Nanti kita bisa kayak Gede nggak, ya,"
"Iyalah,"
"Gede loh Mas selalu bersama sampai tua. Kelihatan banget deh kalau saling mencintai. Kita bisa gitu juga nggak ya, maksudnya sampai tuuaaa,"
"Iyalah"
Pertanyaan tersebut lumayan sering aku ulang. Padahal, jawaban yang kuterima juga selalu sama. Xixixi. Dasar wanita. Maafkan. :)
Gede, kalau di Jawa "Kakek & Nenek", begitu aku memanggil beliau, adalah orang tua mama mertuaku alias kakek dan nenek suami. Mereka adalah sosok yang diam-diam aku kagumi karena terlihat sekali kalau saling mencintai. Sampai-sampai, aku yang sempat skeptis ketika melihat kondisi zaman sekarang akhirnya bilang bahwa CINTA SEJATI ITU TERNYATA MASIH ADA, seperti pada tulisanku di awal.
Saat adik iparku menikah beberapa bulan yang lalu, tidak ada yang tahu kalau aku sempat menangis melihat keluarga Palembang berkumpul di sini (Malang) TANPA ada Gede karena beliau berdua sudah tiada. 10 tahun yang lalu ketika menikah, Gede, yang saat itu usianya sebenarnya juga sudah sepuh, masih sempat melihat kami secara langsung.
KANGEN, mungkin itulah yang aku rasakan.
Aku jadi teringat ketika mengunjungi Gede di Palembang. Sebenarnya bukan di Palembangnya, melainkan di Dusun Betung, Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tapi biar mudah, kami menyebutnya PALEMBANG. Toh, sama-sama Sumatera Selatannya. Toh, salah satu anaknya Gede memang ada yang di Jaka Baring, Palembang. Toh, kami memang benar-benar ke Palembang juga melihat Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, dan ke Pasar Cinde. Dan, toh, orang-orang lebih familiar dengan kata PALEMBANG daripada dijelasin terlalu detail malah nanti pada bingung. Iya, kan.
Pertama kali aku ke tempat Gede adalah saat mudik lebaran beberapa waktu yang lalu. Kami (aku, suami, mertua, dan adik-adik) melakukan perjalanan darat kala itu.
Buatku, tidak ada kata lain selain SENANGG. Apalagi, ini adalah yang pertama. Pertama kali ke LUAR JAWA. Pertama kali ke rumah GEDE. Pertama kami ke SUMATERA bersama suami. Pertama kali melakukan perjalanan PANJANG (karena lewat jalur darat dari Pulau Jawa). Pertama kali lihat rumah panggung yang benar-benar dari tempat asalnya. Pokoknya, semua serba pertama. Maka, bisa dibayangkan bagaimana antusiasnya aku.
Bersama Gede perempuan, Gede laki, dan suami. Foto: dokpri. |
Bisa merasakan rumah panggung yang benar-benar dari tempat aslinya. Seruu. Foto: dokpri. |
Jika ada yang bilang kakek & nenek (orang yang sudah sepuh) itu pasti cerewet dan apa saja terlihat salah, mungkin Gede adalah pengecualian. Beliau berdua saangaatt perhatian dan enggak dikit-dikit salah. Tidak membedakan juga perlakuan ke cucu kandung dan cucu mantu. Semua disayang. Sebagai orang baru, tentu saja ini membuatku nyaman.
Aku masih ingat Gede yang perempuan lumayan sering nanya ke aku, "Kamu nak makan?" (Kamu sudah makan?). Atau, di lain waktu beliau bertanya, "Kamu nak mandi?" (Kamu sudah mandi?) dan kujawab "Sudah, Gede. Kemarin," dan kami berdua pun tertawa. Xixixi. Aku menyukai keakraban beda generasi ini.
Bersama Gede perempuan di Kayu Agung, salah satu rumah anak beliau yang kupanggil "Wak". Foto: Erieen. |
Oh iya, karena melalui jalur darat, perjalanan kami memang laamaa. Apalagi, kami memilih LINTAS TIMUR sebagai rute utama. Katanya sih jadi lebih jauh, tapi enggak rugi dan asik-asik aja karena pemandangan di kanan kiri jalan ini membuatku teringat film Knowing-nya Nicolas Cage.
Lintas Timur, dokpri |
Beberapa waktu berada di kediaman Gede, rugi rasanya kalau hanya duduk manis di rumah. Bersyukur, suami punya pikiran yang sama denganku. Kami berpetualang, mulai dari sekitar rumah sampai yang rada jauhan. Makin seruu karena petualangan ini juga melibatkan Gede.
Jalan-jalan ke kebun nanasnya Gede. Di sini, harga nanas benar-benar murah meriah. Melimpah, sih. Foto: dokpri |
Serunya manjat pohon karet bersama suami di kebun karetnya Gede. Foto: dokpri. |
Kami ke kebun nanas dan karet. Senangnya bisa melihat secara langsung getah karet yang menetes. Jarang-jarang gituu. Getah karet tsb kemudian dikeringkan. Dan jika sudah, karet kering yang penampakannya sekilas lebih mirip oncom itu siap diambil oleh tengkulak. Biasanya sih bebarengan dengan Pasar Kaget, hari Rabu. Katanya, di Luar Jawa bagian dalam memang lumrah hal seperti ini. Pasar enggak selalu ada setiap hari.
Beberapa penampakan karet yang sudah dikeringkan dan siap diambil. Foto: dokpri. |
Jadi, kalau buatku sih malah seruu. Apalagi, pemandangan di sepanjang jalan juga khas Palembang banget. Orang jualan Kemplang, kerupuk khas Palembang, yang harganya jelas sangat murah di kota asal, bisa dengan mudah kutemukan. Berbagai macam tempat makan yang khas Palembang banget seperti pindang, mie celor, dan tentu saja pempek, juga enggak kalah banyak. Sampai bingung mau pilih yang mana. Hehehe.
Mie Celor, cocok buat pengganjal perut. Foto: Ryan A. |
Pempek Lenggang Panggang, di Jawa belum pernah nemu yang seperti ini. Foto: dokpri. |
Jembatan Ampera dilihat dari samping, dokpri |
Jembatan Ampera dilihat dari depan, dokpri |
Benteng Kuto Besak, dokpri |
Sebenarnya, selain Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak, aku juga sempat ke Pasar Cinde, salah satu pasar besar di Kota Palembang. Sayang, aku enggak sempat mengabadikannya karena terlalu banyak bawa belanjaan. Xixixi.
Mengeksplorasi kebun karet, kebun nanas, menikmati tinggal di rumah panggung, memanjakan lidah dengan makanan khas, sampai melihat langsung bangunan bersejarah, semuanyaa kurasakan. Alhamdulillah. Aku sangat menikmati PETUALANGAN tersebut. Dan yang pasti, yang utama, aku bahagia bisa ngobrol langsung dengan Gede, mendengarkan nasihat beliau, sekaligus menjadi saksi dan membuktikan sendiri bahwa mereka berdua memang saling mencintai hingga maut memisahkan. Gede perempuan meninggal tidak terlalu lama setelah Gede laki berpulang duluan. Semoga Allah melapangkan kubur beliau berdua. Doaku selalu buat mereka. Aamiin.
Gede memang sudah tidak ada, tapi aku pengin ke sana lagi untuk bernostalgia. Apalagi, kali ini tidak hanya ada aku dan suami, tapi juga anak. Kadang, aku berandai-andai (walau kutahu itu tidak baik), jika saja Gede masih ada, tentu mereka akan lega karena aku dan suami akhirnya punya anak.
2019 nanti, rencananya kami ke sana lagi jika diberi kesempatan dan umur. Aamiin. Tapi kali ini, kami engak akan menggunakan jalur darat. Bukannya manja, tapi lebih ke masalah hemat waktu. Apalagi, Palembang saat ini sudah semakin maju. Pesawat ke sana juga semakin banyak, lebih-lebih jika pesan tiket pesawatnya yang bisa lewat online jauh-jauh hari, sudah pasti akan dapat kursi, dan kalau beruntung... malah bisa dapat diskon/harga promo.
Alhamdulillah, mencari tiket pesawat murah saat ini semakin mudah. Nostalgia ke tempat kenangan pun bisa dilakukan kapan saja. |
Melihat pasangan muda saling mencintai, buatku biasa saja. Ya iyalah, emang harusnya gitu. Tapii, melihat pasangan suami istri yang sudah sangatt sepuh masih begitu cinta, jujur membuatku iri sekaligus ingin meneladani. Mereka pasti sudah melewati beragam ujian rumah tangga. Tapi ternyata dengan ujian yang datang silih berganti itu bukannya membuat cinta melemah, tapi justru sebaliknya. Bukannya membuat sendiri-sendiri, tapi makin menyatu. Menyentuh sekali, bukan.
Itu sebabnya, keinginan kami, aku dan suami, untuk ke Palembang lagi, ke tempat Gede begitu kuat. Kami ingin cerita ke anak seperti apa Gede dan di mana tempat tinggalnya. Dengan harapan, kami benar-benar bisa merasakan "feel"nya. Sehingga, hal-hal baik dari beliau berdua yang berusaha kami teladani ini benar-benar kami lakukan dari hati dan sepenuh jiwa. Moga-moga, kami bisa mengikuti jejak cinta Gede yang setia dan menua bersama hingga dipanggil Sang Pencipta. Aamiin.
Ah, enggak sabar rasanya pengin ke sana.
Teman-teman, ayo ke Palembang juga, yuk. Siapa tahu, selain menikmati kotanya yang indah dan makanannya yang khas banget, kalian juga menemukan kisah cinta lain yang menyentuh dan bisa dijadikan inspirasi. :)
15 comments
Masyaallah barokallaah buat Gede, enak banget suasananya mbak, enak bisa lihat hasil perkebunan. Kulinernya juga mantap
ReplyDeleteIya, Mb
DeleteKulinernya pedes2 kesukaanku bgts wkk
Aduh jadi pengen ke palembang deh setelah baca blog ini, makasih mba untuk infonya:)))
ReplyDeleteMakasih, Sist
DeleteTanteee
ReplyDeletePengennn
Mie celorny kayakny enak ya, Tan
Bikin sendiri yuk
DeleteSenenggg baca kisah ini dr awal sampe akhir. Banyak hal yg bs kita pelajari dr orang sepuh termasuk Gede ya. Alfatihah buat keduanya :) Ga bayangin perjalanan darat kesana, untung ada pswat yg tiketnya hemat ya sekarang
ReplyDeleteMakasih y, Makk
DeleteAamiin
He em nih
Alhamdulillah sekarang makin mudah dan murah hehe
Palembang itu empek2 itu saja si yang paling aku tahu. Tapi di sini Ada hal yang beda wow bisa buat nambah2 pengetahuan sambil kumpul2 buget hehehe
ReplyDeleteMakasih, Sayy
DeleteSeru ceritanya mbak. Mengenal nenek kayak Gede itu pasti bahagia banget ya. Kami juga punya saudara di Palembang tapi belum pernah kesana.Mudahan suatu saat bisa kesana
ReplyDeleteAamiin
DeleteMoga2 nanti bisa ke sana y, Mba
semoga kita semua bisa langgeng menua bersama seperti Gede ya, tidak mudah, tapi bisa :)
ReplyDeleteAsyik banget bisa ke Palembang yak, mau deh intip PegiPegi kali aja ada promo buat mudik hahaha
Benar, Mb
DeleteTidak mudah,tp bisa
Menua dan tetap saling mencintai
Aamiin
Xixixi
Sok, Mbaa
Diintip
Pempek lenggang khas Palembang banget, sekali pernah coba makan dibuatin mertua mbakku yang dulu merantau lama di Palembang
ReplyDeleteSuka seneng kalau melihat temen yang masih punya kakek nenek, aku sendiri sudah kehilangan kakek nenek dari SD huhu
Makasih udah ninggalin jejak yang baik ya, Teman-teman! :)