Perjuangan 8 Tahun Mendapatkan Buah Hati: Mulai dari Semangat hingga Pasrah
By miyosi ariefiansyah (bunda taka) - March 23, 2018
Pertama kalinya tespek positif, 26 September 2016, dokpri |
Orang
lain boleh saja berkata, "Kamu enggak mungkin bisa punya anak wong udah
lama, gitu. Udahlah", tapi toh keputusan mutlak tetap ada di tangan Sang
Pencipta. Jika DIA berkehendak, lantas kita mau apa? Mengubah siang jadi malam
dan malam jadi siang saja Dia bisa. Tugas kita hanya terus berusaha dan
berupaya, bukan menuruti pikiran negatif yang membuat kita putus asa.
Bunda,
kita semua pasti sepakat bahwa memiliki buah hati adalah salah satu fase dalam
dunia pernikahan yang sangat dinantikan, tidak terkecuali saya. Bagi Bunda yang
tergolong mudah hamil, anak mungkin bukan persoalan rumit. Bila pun iya,
fokusnya beda. Bukan masalah "kok belum dikasih", tapi sebaliknya.
Saya lumayan sering mendapatkan curhatan Bunda yang galau karena telat haid
yang ternyata setelah diperiksa memang hamil sementara anak yang paling kecil
masih batita.
Lantas,
bagaimana dengan Bunda yang sebaliknya?
Ehm....
Dunia memang dipenuhi paradoks ya, Bund. Di satu sisi, ada yang pengin udahan,
tapi terus dikasih. Di sisi lain, ada yang minta satuuu sajaa (dulu), tapi
masih ditangguhkan.
Saya?
Masuk kategori yang kedua, Bun.
Ternyata,
emang enggak ada korelasinya ya antara suka anak-anak dengan cepat tidaknya
punya anak. Tidak hanya sekali saja saya menemukan seorang bunda yang sangat
mencintai anak-anak, tapi hingga usia pernikahan kesekian tetap belum dikasih.
Di sisi lain, tidak sedikit yang mengaku sebenarnya enggak suka anak-anak
karena bikin ribut, tapi dengan begitu mudah bisa hamil anak pertama, kedua,
dst. Saya suka anak-anak, pernah jadi guru TK, penampakan juga cukup keibuan,
tapi ternyata punya anak satu aja sulitnya minta ampun. That’s why, don’t judge
a book by its cover. Dunia dipenuhi paradoks.
Bunda
sendiri termasuk tipe yang mana? Jika sampai detik ini Bunda masih
berjuang untuk mendapatkan amanah anak, mungkin pengalaman sederhana saya ini
bisa jadi oase yang membuat Bunda selalu/makin semangat.
Dan,
seperti inilah kisah saya 8 tahun menunggu momongan....
Awalnya
(Sengaja) Menunda
Meski
menikah tahun 2008, tapi jujur aja saya dan suami baru serius program anak lima
tahun setelahnya, 2013. Sebelumnya, kami yang menikah muda, memang sengaja
ingin menunda momongan dengan alasan ingin lebih mempersiapkan diri sebagai
orang tua. Tahu sendiri kan ya Bun bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah.
Saat itu, saya mengkonsumsi Pil KB Diane 35 atas rekomendasi seorang kakak
dokter kandungan.
Selama
lima tahun berjalan tsb, pertanyaan “kapan punya anak” datang silih berganti.
Awalnya, saya enggak terlalu mempermasalahkan pertanyaan orang-orang karena
memang sudah punya rencana sendiri yang tidak mereka ketahui. Namun,
secuek-cueknya seorang wanita, pada akhirnya baper dan sensitif juga. Normal
kok, namanya juga punya perasaan.
Tidak
Ada Firasat Apa pun
Awal
2013, kami memutuskan untuk punya anak. Saya lepas Pil KB. Pertengahan 2013
adalah kali pertama saya dan suami pergi ke dokter kandungan di Bandar Lampung.
Ya, waktu itu, suami masih bertugas di sana. Saya hanya di USG aja sebagai
tahap awal. Hasilnya bagus, enggak ada benjolan atau hal serupa. Beliau bilang
bahwa mungkin hanya masalah waktu saja. Santaii. Saya pun enggak terlalu
kepikiran. Toh, memang baru lepas pil KB. Jadi ibaratnya, kami memulai lagi
dari nol.
Berdasarkan
info yang saya baca di berbagai sumber, pasangan suami istri baru boleh galau
jika dalam kurun waktu satu hingga dua tahun menikah dan tidak menggunakan alat
kontrasepsi apa pun tidak juga bisa punya anak. Artinya, ada masalah, entah
dari sisi istri atau suami atau keduanya. Walaupun, enggak usah galau-galau
amat sebenarnya karena masalah seperti itu di zaman sekarang ini sangat banyak.
Jadii,
enggak salah dong ya kalau setelah dari dokter kandungan pertama, saya makin
yakin bahwa sebentar lagi akan jadi ibu. Meskipun hasilnya kemudian... nihil.
2013 terlewati hanya dengan suami saja. Status belum berubah. Permintaan belum
di-acc.
Tahun
berikutnya, 2014, kami mencoba lagi mengunjungi dokter kandungan. Kali ini di
Malang, kampung halaman, saat suami dinas di sana seminggu. Di dokter kandungan
yang kedua ini, enggak cuma saya aja yang periksa, tapi juga suami. Hasilnya?
Masih sama. Kami sama-sama enggak bermasalah. Dokter hanya memberi kami vitamin
saja.
Selain
dokter, saya diberi vitamin (serbuk-serbuk gitu, lupa namanya) sama mama mertua
dan tetangga (ibu-ibu pensiunan), oleh-oleh dari mereka haji dan umroh. Kakak
saya juga memberi pil herbal. Dan, suami saya beli madu via online. Enggak
hanya ituu, saya dan suami rajin mengkonsumsi buah kiwi dan semangka atas saran
seorang teman yang juga lama menunggu buah hati dan akhirnya berhasil. Namanya
ikhtiarr, apa saja dicoba yang penting halal dan logis, enggak yang aneh-aneh.
Dan,
hasilnya? 2014 lagi-lagi terlewati dengan hanya masih berdua.
Galau pun melanda. Galaunya lebih ke masalah... Ya Allah, begitu sulitkah bagi-Mu mengabulkan doa hamba? Apa ini hukuman karena saya-kami pernah sengaja menunda momongan walaupun untuk tujuan kebaikan karena kami ingin memberikan yang terbaik untuk anak kami kelak? Namun, pikiran negatif tersebut cepat saya tepis. Allah Maha Mengetahui, termasuk yang ada di dasar hati. Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Allah pasti memberikan yang terbaik. Pasti.
Suami
pun terlihat santai dan enggak mau saya terlalu kepikiran. Berdua saja atau
bertiga (dengan anak), kami tetap akan selalu bersama, setia sehidup seakhirat.
Kata-kata suami yang kurang lebih seperti itu membuat hati saya plong. Meskipun
tetap saja, di sudut hati terkecil, keinginan menjadi ibu semakin membuncah
justru karena suami legowo seperti itu.
Masalah
Serius Terdeteksi
Enggak ada benjolan di rahim, saluran telur juga enggak ada sumbatan, pun dari sisi suami juga normal-normal aja, tapi kok belum juga hamil. Dan, ternyata jawabannya di tahun 2015, saat kami memeriksakan lagi ke dokter kandungan rekomendasi mama mertua di daerah Sulfat, Malang. Saya baru tahu kalau sel telur yang saya miliki kecil-kecil, tidak mungkin bisa dibuahi. Karena untuk bisa dibuahi, ukuran sel telur harus besar. JLEB. Rasanya bumi berhenti berotasi. Kepercayaan diri saya runtuh seketika. It means... ??? Saya diam sesaat, mencoba menerima kenyataan yang tidak saya harapkan.
Salah satu indikasi sel telur kecil-kecil adalah haid yang enggak teratur. Dan, salah satu penyebab haid enggak teratur adalah ketidakstabilan hormon. Memang sih kalau dipikir-pikir sejak remaja haid saya udah enggak teratur, tapi tidak ada kecurigaan apa-apa. Tidak disangka, ini jawabannya.
Buat siapa pun yang haid-nya enggak teratur, sebaiknya curiga. Bila perlu, langsung datang ke dokter kandungan untuk konsultasi. Itu lebih baik daripada tahunya telat atau menduga-duga atau bertanya yang bukan pada ahlinya.
Berdamai dengan Keadaan
Setiap manusia butuh waktu untuk menerima kenyataan yang tidak diharapkan. Pun saya. Setelah proses itu terlewati, selanjutnya adalah memikirkan solusi dengan hati dan pikiran yang lebih jernih.
Dari hasil browsing sana-sini, baca berbagai macam literatur, dan bertanya pada dokter kandungan, salah satu penyebab terbesar sel telur kecil-kecil adalah ketidakseimbangan hormon. Dan, masalah hormon ini bisa dibilang masalah "daleman" yang penuh misteri. Kalau benjolan masih kelihatan dan bisa dihilangkan dengan operasi. Kalau hal-hal yang tidak terlihat, hormon salah satunya? Rumit, kan.
Untuk membesarkan hati, saya meyakinkan diri bahwa yang mengalami hal ini di dunia ini tidak hanya saya saja. Saya beruntung karena memiliki suami yang sangat peduli dan selalu berkata setiap masalah ada solusinya, termasuk ini.
Oleh dokter yang di Malang, saya diberi pil pembesar sel telur yang harus saya minum di hari ketiga mens selama lima hari berturut-turut. Saya juga disarankan untuk meningkatkan intensitas olahraga, padahal udah rajin senam bareng ibu-ibu sih, xixixi. Alhasil, setiap akhir pekan, saya dan suami nggowes dengan jarak tempuh 38 km. Lumayan banget. Dan saat periksa lagi ke dokter kandungan, kali ini di Balikpapan, sel telur saya sudah besar. ALHAMDULILLAH. Kemajuan yang bagus, katanya.
Apakah itu saja sudah cukup? BELUM. Sel telur yang besar dan sehat ditambah sperma yang bagus saja enggak cukup kalau mereka tidak dikondisikan dengan baik saat bertemu. Rumit banget ya bahasanya. Heheh. Mereka berdua harus benar-benar bertemu dan jadian serta berkomitmen. Kira-kira, seperti itulah ilustrasinya. Yang udah nikah pasti ngerti.
Saya sempat berpikir, serumit ini ya hamil? Padahal sama-sama cinta. Yang nikahnya dijodohin atau karena terpaksa aja banyak yang dengan mudah bisa hamil. Ah, sudahlah. Saya lelah untuk bilang dunia memang penuh paradoks. Jalani sajalah, ya.
Pasrah
Menginjak Usia 30
Tidak
bisa dimungkiri kalau saya khawatir jika sampai usia 30 (meskipun masih akhir
tahun, tepatnya 25 Desember) saya belum juga hamil. Kekhawatiran itu lumrah sih
ya bagi wanita. Meskipun di sisi lain, tingkat kepasrahan saya semakin
meningkat. Bukan karena putus asa, melainkan semakin menyadari bahwa tugas
manusia memang hanya berusaha saja. Sudah. Titik.
Bagaimana
jika perjuangan 8 tahun mendapatkan buah hati ini ternyata masih belum selesai?
It means... saya dan suami masih harus belajar lagi.
Saya
mengikuti beragam grup tentang kehamilan. Saya semakin banyak mencari kisah
nyata tentang mereka yang bisa hamil di usia senja. Semua itu muaranya
sebenarnya satu: keajaiban itu ada. Bukan hal yang mustahil jika Allah
menghendaki.
Dan,
untuk yang terakhir kalinya, karena setelah itu saya berencana enggak akan
mendatangi dokter kandungan lagi alias benar-benar pasrah dan legowo, saya
bolak balik Balikpapan – Malang untuk melakukan pemeriksaan lagi. Kali ini
dengan dokter yang berbeda, lebih fokus ke masalah infertilitas, lokasinya di
daerah Ijen.
Di
dokter yang terakhir itu vonis yang saya terima masih sama. Sudah enggak kaget
lagi. Bahkan kali ini setelah pemeriksaan menyeluruh, saya terdeteksi lagi
hormon prolaktin tinggi dan rahim tipis. Jadii, semisal berhasil dibuahi pun
belum tentu bisa menempel dengan baik karena rahimnya rapuh. J
Di
saat jiwa dan pikiran saya kritis, ibu tidak pernah berhenti memberikan
keyakinan kepada saya. Beliau percaya bahwa saya pasti diberikan yang terbaik.
Pasti. Entah, itu apa. Beliau juga berpesan agar saya lebih mendekatkan diri
lagi kepada Allah, merayu Allah, memohon, dan menghamba lebih lebih dan lebih
lagi kepada-Nya.
Sebenarnya,
saya sudah santai. Pun suami. Bahkan, kami berdua sudah beli tiket ke Korsel
yang akan membawa kami ke sana Mei 2017 (dan enggak jadi karena saya
melahirkan). Yups, kami berdua pasrah dan menikmati hidup. Kebahagiaan dalam
pernikahan tidak hanya karena kehadiran seorang anak. Lha emang selama ini
enggak bahagia? Bahagia bahagia aja, kan. Justru masalah ini membuat kami
semakin solid.
Yang
membuat tembok pertahanan saya runtuh adalah ketika tidak sengaja melihat ibu
berdoa selepas sholat dengan wajah serius memohon sambil menangis. Pun melihat
mama yang semakin lama semakin tua. Entah kenapa melihat dua wanita tersebut
hati saya seolah hancur karena belum bisa memberikan cucu. Padahal, baik ibu
maupun mama enggak berkata apa-apa yang sifatnya menekan. Tapi justru karena
itulah hati saya semakin merasa enggak keruan.
Allah,
hanya DIA yang bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi sekarang
saya terserah Allah saja. Saya manut saja. Toh, segala upayaa sudah saya
lakukan. Selebihnya, TOTAL PASRAH.
Keajaiban
Itu Ada
September
2016, saya melakukan perjalanan dari Balikpapan ke Malang, dilanjut beberapa
hari kemudian Malang – Yogyakarta dan Yogyakarta Malang beberapa hari
kemudiannya lagi dalam kondisi... enggak tahu kalau berbadan dua.
Ya,
saya hamil. Menginjak bulan ketiga. Keajaiban itu NYATA adanya. Jika ditanya
apakah saya promil? Pakai obat apa? Gimana? Dari cerita saya sebelumnya bisa
disimpulkan bahwa dia hadir ketika saya pasrah dan nrimo, ketika semuaaa usaha
sudah saya lakukan tapi seolah tidak membuahkan hasil, dan ketika kemudian saya
bilang ke diri sendiri “Yoweslah, saya serahkan semuanya ke Allah. Dia enggak
pernah salah. Apa pun itu, saya nerimo,”
Amanah
itu datang ketika saya berada di titik nol. Perjuangan 8 tahun mendapatkan buah
hati berakhir ketika saya tidak memikirkan apa-apa lagi selain total
menyerahkan segala urusan ke Yang Punya Hidup. Di saat saya melepaskan, saya
justru mendapatkan. Allah Maha Berkehendak.
Buat
Bunda yang saat ini tengah berjuang, semoga perjuangan Bunda, kesabaran Bunda
berbuah surga. Selalu yakin dan optimis, ya. Sering, hadiah dari Allah
benar-benar tidak bisa dilogika dan datang di saat yang tidak terduga.
Semangat
positif, Bundaa
Regards,